REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Akademisi dari Universitas Muhammadiyah Kupang Ahmad Atang menilai, pertemuan Susilo Bambang Yudhoyono-Prabowo Subianto sesungguhnya untuk mempertegas posisi mereka sebagai oposan kritis dalam mengontrol perjalanan kekuasaan Jokowi.
"Dalam politik semua kemungkinan bisa saja terjadi, termasuk koalisi Gerindra-Demokrat di pilpres mendatang, namun pertemuan SBY-Prabowo menurut saya mempertegas posisi mereka sebagai oposan kritis dalam mengontrol perjalanan kekuasaan Jokowi," kata Ahmad Atang di Kupang, Rabu (2/8).
Atang mengemukakan hal itu, berkaitan dengan pertemuan SBY-Prabowo dan peluang kerja sama koalisi Partai Demokrat dan Gerindra dalam menghadapi Pilpres 2019 mendatang. Menurutnya, SBY-Prabowo sama-sama memiliki masa lalu dengan Megawati Soekarnoputri dan PDI Perjuangan yang kurang harmonis.
Karena itu, masalah penetapan RUU Penyelenggaraan Pemilu di parlemen dijadikan momentum bagi keduanya bertemu untuk membangun kekuatan politik dengan merangkul partai yang tidak sejalan dengan pemerintah untuk bersatu.
Sungguhpun begitu, menurut dia, SBY dengan Partai Demokrat dan Prabowo dengan Partai Gerindranya memiliki pandangan yang berbeda, terutama soal kekuatan politik identitas keagamaan.
Partai Gerindra cenderung merapat dengan kekuatan politik haluan garis keras keagamaan, namun Demokrat justeru menjaga jarak dengan kekuatan keagamaan, kata Pembantu Rektor I UMK ini.
Staf pengajar ilmu komunikasi politik pada Fakultas Ilmu Sosial Pemerintahan Universitas Nusa Cendana itu mengatakan, Demokrat sangat berhati-hati menjaga citra politik di mata publik.
Partai Demokrat berhati-hati agar tidak diidentikan sebagai partai pendukung aksi kekerasan atas nama kebebasan. Perbedaan pandangan dalam hubungan dengan kekuatan politik identitas keagamaan ini menjadi tantangan soliditas antara dua kekuatan politik ini.
"Artinya, Demokrat tetap memainkan politik moderat sebagai penyeimbang kekuatan politik yang menjadi jargonnya selama ini," katanya menambahkan.