Kamis 03 Aug 2017 11:17 WIB

Ini yang Bakal Terjadi Jika Gugatan UU Pemilu Ditolak

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Bilal Ramadhan
Sekjen Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Jamal Yamani (kiri) Wakil Sekjen Yustiana Dewi (kanan) memperlihatkan surat permohonan Uji Materiil Undang-Undang Pemilu 2017 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (24/7).
Foto: Republika/Mahmud Muhyidin
Sekjen Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) Jamal Yamani (kiri) Wakil Sekjen Yustiana Dewi (kanan) memperlihatkan surat permohonan Uji Materiil Undang-Undang Pemilu 2017 terhadap UUD 1945 ke Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta Pusat, Senin (24/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin mengungkapkan soal dampak yang dapat terjadi jika gugatan parpol oposisi pemerintah terhadap UU Pemilu di Mahkamah Konstitusi (MK) ditolak atau dinyatakan UU tersebut konstitusional. Menurut Ujang, kemungkinan terburuk yang dapat terjadi yakni kekalahan parpol oposisi di Pemilihan Presiden 2019.

"Kemungkinan terburuk bagi keempat partai tersebut adalah akan mengalami kekalahan pada Pilpres 2019," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (3/8).

Karena itu, parpol oposisi, pertarungan terakhir terkait UU Pemilu, khususnya ambang batas pencalonan presiden 20-25 persen, memang berada di MK. "Pertarungan terakhir akan terjadi di MK. Demokrat, Gerindra, PKS, dan PAN pastinya akan all out berjuang untuk menghapuskan PT (presidential threshold)," ungkap dia.

Meski begitu, lanjut Ujang, parpol pendukung pemerintah dan pemerintah sendiri, pun tidak akan tinggal diam. Menurut dia, ada kemungkinan pihak pendukung PT 20-25 persen itu akan melakukan berbagai upaya agar aturan tersebut tetap berlaku pada Pilpres 2019.