REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK), menggelar sidang perdana pengujian materi atas aturan ambang batas pencalonan presiden (presidential treshold) dalam Undang-undang (UU) Pemilu. Gugatan uji materi tersebut diajukan atas nama Ketua Dewan Pembina Advokat Cinta Tanah Air (ACTA), Habiburrokhman.
"Kami mengajukan gugatan atas pasal 222 UU Pemilu. Seluruh unsur pasalnya," ujar Habiburrokhman di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (3/8).
Dia melanjutkan, pihaknya akan menjelaskan bahwa kondisi UU Pemilu yang belum diundangkan bukan menjadi penghalang dalam pengajuan uji materi. Menurutnya, secara redaksional keberadaan pasal 222 sudah dapat diuji materi.
"Redaksi pasal 222 tidak ada masalah dan saat ini merupakan pemeriksaan persiapan. Ketika sidang memang harus disegerakan pendaftarannya. Jangan sampai sia-sia ketika sudah tidak relevan," tegas Habiburrokhman.
Sebelumnya, ACTA mendaftarkan uji materi ke MK pada 24 Juli lalu.ACTA berpendapat, pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan parpol atau gabungan parpol pengusung calon presiden/wakil presiden harus memiliki setidaknya 20 persen kursi di DPR atau 25 persen suara sah nasional pada Pemilu sebelumnya bertentangan dengan pasal 4, pasal 6a, pasal 28d ayat 1 dan ayat 2 UUD 1945.
Ketentuan pada pasal ini dinilai mempermudah presiden tersandera oleh parpol dan nantinya berpotensi bagi-bagi jabatan kepada para politisi atau parpol pendukung. Kedua, aturan ini menyalahi tata cara pemilihan presiden dan wakil presiden sebagaimana diatur dalam pasal 6a UUD 1945.
Ketiga, pengaturan pada pasal 222 menimbulkan diskriminasi parpol peserta pemilu yang semestinya bisa mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Kuasa Hukum ACTA, Hendarsam, sebelumnya menjelaskan bahwa parpol yang baru pertama kali akan ikut pemilu dan parpol yang perolehan suara pada pemilu sebelumnya tidak sampai 20 persen kehilangan hak untuk dapat mengusulkan calon presiden dan wakil presiden.
"Karena itu, petitum utama kami adalah memohon agar MK dapat menyatakan pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," kata Hendarsam.