REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kriminolog Universitas Indonesia (UI) Adrianus Meliala menilai maraknya tindak kriminal yang dilakukan warga negara asing (WNA) disebabkan sejumlah faktor, di antaranya tidak ada unsur jera dari penegakan hukum di Indonesia. Menurut dia, ketiadaan unsur jera ini bisa karena ancaman hukumnya belum maksimal.
Jika ancaman hukumannya maksimal pun, ada proses menuju eksekusi yang lama dan sulit tidak membuat jera. "Lalu, ancaman hukuman maksimal boleh jadi cepat, tapi bayangan keuntungannya tinggi, jadi tidak jera," kata Adrianus, Ahad (6/8).
Kriminolog yang juga anggota Ombudsman itu menyebutkan hukuman harus diterapkan efisien. Sebagai contoh, dari putusan tingkat satu hingga ekseskusi jangan lebih dari dua tahun.
"Saya kira harus komprehensif, misalnya kalau mau memepertinggi hukuman, pertinggilah, undang-undang dibuat untuk itu," kata dia.
Dia menambahkan hukuman juga harus ada unsur jera. Jangan sampai, dia mengatakan, setelah memiliki kekuatan hukum tetap inkrah, eksekusi dilakukan 10 tahun kemudian.
"Lalu keuntungan hasil kejahatan berkurang, misalnya satu upaya merehab narkotika, tidak banyak lagi pengguna, maka permintaan berkurang, lalu harga pun turun," katanya.
Adrianus menilai pemerintah sebebenarnya sudah berupaya ke arah sana. Yakni penindakan tegas terhadap pelaku kriminal negara asing. Namun, upaya pemerintah tidak bisa, seperti membalik tangan dari segi kecepatan, langsung membuahkan hasil.
Kepolisian belakangan ini mengungkap beberapa kasus kejahatan yang dilakukan oleh orang asing. Misalnya, sindikat kejahatan siber asal Cina dan Taiwan, jaringan perdagangan ekstasi dari Belanda yang bekerja sama dengan narapidana di Lapas Nusakambangan, dan sindikat sabu-sabu satu ton asal Taiwan.