REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Dewan Keamanan PBB, pada Sabtu (5/8), telah mengadopsi sebuah resolusi yang diinisiasi Amerika Serikat (AS) terkait pemberian sanksi baru kepada Korea Utara (Korut). Sanksi ini membidik sumber pendapatan utama Korut yang diyakini menjadi modal mereka dalam mengembangkan proyek rudal dan nuklirnya.
Dalam sanksi barunya, PBB melarang Korut mengekspor batubara, besi, bijih besi, timah hitam, bijih timah, termasuk hasil laut mereka. Pelarangan ekspor komoditas andalan Korut tersebut diyakini akan sangat memukul perekonomian negara pimpinan Kim Jong-un.
Sanksi ini diperkirakan akan menyebabkan Korut kehilangan pendapatan sebesar 3 miliar dolar AS setiap tahunnya. Tidak hanya itu, sanksi baru PBB juga melarang adanya peningkatan jumlah pekerja yang dikirim ke luar negeri oleh Korut. Termasuk melarang sebuah usaha bersama dan investasi gabungan yang melibatkan para pelaku usaha dari Pyongyang.
Bank Perdagangan Luar Negeri Korut, yang mengelola valuta asing, juga akan dimasukkan ke dalam daftar hitam sanksi PBB. Dengan demikian, segala aset di Bank Perdagangan Luar Negeri Korut akan dibekukan.
AS dan Korea Selatan (Korsel) menyambut hangat sanksi baru yang dijatuhkan kepada Korut. Kedua negara menilai sanksi telah sesuai dengan ekspektasi mereka untuk menekan Pyongyang agar menghentikan program rudal nuklirnya.
Presiden AS Donald Trump mengapresiasi keputusan terbaru PBB untuk Korut. Menurutnya, sanksi baru ini akan memberikan dampak finansial yang telak terhadap Pyongyang. Dewan Keamanan PBB hanya memilih 15-0 untuk menjatuhkan sanksi kepada Korut.
"Cina dan Rusia memberikan suara kepada kami. Dampak finansial yang sangat besar," ujar Trump melalui akun Twitter pribadinya seperti dilaporkan laman Aljazirah.
Menteri Luar Negeri AS Rex Tillerson, pada Ahad (6/8), juga memuji persetujuan sanksi baru PBB terhadap Korut. Ini hasil yang sangat baik, kata Tillerson.