REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas menilai, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 atau Perppu Ormas, memiliki banyak kecacatan. Terutama, secara teori dan metoda yang digunakan dalam penerbitan Perppu tersebut.
Dia menjelaskan, secara teori umum saja jika hendak membuat produk hukum atau perundang-undangan, apalagi ada keterlibatan negara, dua yang harus terpenuhi yaitu subtansi dan motodanya. Busyro mengingatkan, keduanya pun harus saling mendukung dan tidak boleh bertentangan.
Pertama subtansi yang mana sudah menjadi kesepakatan jika sumber segala hukum merupakan Pancasila. Pancasila itu, tentu tidak bisa dipisahkan dari Pembukaan UUD 1945, terlebih dikarenakan rumusan dari Pancasila sendiri ada di dalam paragraf terakhir Pembukaan UUD 1945.
Untuk itu, jika pemerintah mau membuat Perrpu Nomor 2 Tahun 2017 tentu harus mampu dibuktikan. Terutama, apakah Perppu itu miliki kandungan ideologis di dalam Pancasila yang rumusannya ada di Pembukaan UUD 1945. Pasalnya, jika itu tidak bisa dibuktikan Perppu itu cacat secara teori.
"Kalau tidak .,maka perrpu tersebut secara ideologis tandus, kering, tidak mengandung nilai-nilai Pancasila di dalamnya, cacat secara ideologis," kata Busyro kepada Republika.co.id, Rabu (9/8).
Selanjutnya, lanjut Busryo, secara metoda produk-produk hukum itu kalau mau dibuat harus memiliki tiga unsur pendekatan yaitu sosiologis, filosofisdan yuridis. Ini jadi standar internasonal. Secara ideologis jelas Pancasila dan UUD 45, termasuk pasal-pasal yang terkait UUD 45.
Secara sosiologis, pendekatan yang digunakan harus didasarkan satu riset yang tujuannya untuk memetakan apa yang jadi fakta konkrit dan teruji, sehingga Presiden mengeluarkan Perppu itu. Artinya, harus dilihat secara konkrit apakah Perppu mencerminkan situasi-situasi yang memenuhi syarat dikeluarkannya Perppu.
"Terutama, syarat kegentingan memaksa, dan kegentingan memaksa itu tidak bisa ditentukan sepihak saja oleh pemerintah," ujar Busyro.
Karena itu, ia menekankan, harus sangat hati-hati dalam mengeluarkan produk-produk hukum karena ini menyangkut UU yang mengikat semua warga negara dan organisasi. Sayangnya, Busyro melihat, hanya dari aspek pendekatan sosiologis saja pemerintah tidak mampu memnuhinya.
Selain itu, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 tidak didasarkan kepada satu perumusan yang menggambarkan Pancasila saat itu sedang dalam posisi terancam oleh kehadiran ormas-ormas. Penjelasan pemerintah dirasa tidak membacakan ukuran yang digunakan sampai mengatakan Pancasila dianggap terancam.
"Kalau ukurannya sekadar pernyataan-pernyataan HTI atau dari aktivis-aktivis HTI, tentu sama sekali tidak relevan, harusnya diajak dialog yang intens, nah di sini pemerintah tidak pernah melakukan itu, kesimpulannya pemerintah otoriter, " kata Busyro.
Busryo mengingatkan, ketika rezim bersikap otoriter, maka yang terjadi kekuasaannya bersifat absolut yaitu absolutely power. Tentu, sesuai doktrin yang sudah umum saja kondisi ini memiliki potensi rezim itu korupsi kekuasaan dan mengorupsi hak-hak sipil politik masyarakat yang terampas oleh Perppu Ormas ini.