Senin 21 Aug 2017 15:36 WIB

Cara Mengukur Kemiskinan dalam Perspektif Islam

Ustaz Thuba Jazil mengupas kajian ekonomi syariah di Masjid Alumni IPB Bogor.
Foto: Dok Masjid Alumni IPB
Ustaz Thuba Jazil mengupas kajian ekonomi syariah di Masjid Alumni IPB Bogor.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR –  Masjid Alumni IPB Bogor  hari ini, Senin (21/8) kembali akan menggelar Kajian Ekonomi Syariah dengan nara sumber Ustaz Thuba Jazil bin Damanhuri. Kajian tersebut diadakan ba’da Maghrib sampai jelang Isya.

Dalam pembicaraan pendahuluan, Ustaz Thuba mengemuakan, kemiskinan merupakan sunatullah yang memang akan selalu ada. Sebagaimana tersirat dalam Surat AZ-Zukhruf ayat 32, “Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu? Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat, agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain. Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan”.

Si kayadan si miskin akan senantiasa ada, akan tetapi bagaimana Islam memandang kemiskinan tersebut? “Dalam pandangan ekonomi Islam, kemiskinan tidak pernah dibahas dalam penghapusan/penghilangan akan tetapi tindakan minimalisir yang selalu ditegaskan,” kata Thuba kepada Republika.co.id, Senin (21/8).

Dosen Bisnis dan Manahemen STEI Tazkia itu menambahkan, pengukuran kemiskinan yang dilakukan oleh lembaga pemerintah menitikberatkan kepada aspek materi. Sedangkan, aspek spiritual sering dan bahkan terabaikan. “Apabila merujuk dalam ajaran Islam, kemiskinan bersifat multidimensi yang mengarah kepada keutuhan individu dalam sebuah kesatuan keluarga,” kata Peneliti Senior CIBEST IPB itu.

Thuba mengemukakan, Islam dengan konsep kebahagiaan yang menyeimbangkan kedua aspek materi dan spiritual memandang kemiskinan dari dua sudut yang harus terintegrasi dengan baik. Sebagian yang memiliki harga berlimpah akan tetapi minim spiritual akan menimbulkan permasalah besar seperti  terjadi penimbunan dan penumpukan harta.

Sebagian lain yang minim harta dan kecukupan secara spiritual, maka kurang pula pemanfaatan kepada orang lain. Dan sebagian yang minim harta dan minim pula spiritual maka yang terjadi keonaran, kesenjangan dan berbagai hal negatif yang akan muncul. “Idealnya adalah sebagian yang kuat harta dan kuat spiritual,” tutur Thuba.

Ia mengemukakan, suatu usaha dan langkah ilmiyah yang dilakukan Beik & Arsyianti (2013) telah memberikan pendekatan baru akan pengukuran kemiskinan. Model yang telah diintegrasikan antara aspek material dan spiritual dapat mengukur dan juga menilai perpindahan kaum dhuafa kepada level tertentu.

Model tersebut disebut Model CIBEST, yakni nama yang diambil dari pusat studi bisnis dan ekonomi syariah (Centre for Islamic Business and Economics Studies) IPB membagi kelompok miskin dalam empat kuadran. “Perpindahan kaum dhuafa pun bisa dilihat dari kuadran tersebut,” ujarnya.

Ingin tahu empat kuadran tersebut? “Ikuti Kajian Ekonomi Syariah di Masjid Alumni IPB, Botani Square, Bogor, Jawa Barat, hari ini ba’da Maghrib  bersama Ustaz Thuba Jazil bin Damanhuri,” kata Ketua DKM Masjid Alumni IPB Iman Hilman.

Iman menjelaskan, kajian tersebut bersifat umum dan tidak dipungut bayaran. “Kami mengundang kaum Muslimin untuk menghadiri acara kajian Islam yang digelar di Masjid Alumni IPB setiap hari. Pada hari Senin, ba’da Maghrib, kajian tersebut membahas tentang ekonomi syariah,” papar Iman Hilman.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement