Senin 21 Aug 2017 22:45 WIB

Kementerian PPPA Minta Anak Dilindungi dari Kekerasan Sosial

Rep: Rr Laeny Sulistyawati/ Red: Ilham Tirta
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)
Foto: Republika/Mardiah
Kekerasan seksual terhadap anak (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) meminta semua pihak untuk menyelesaikan kasus kekerasan terhadap anak, termasuk kekerasan seksual. Sekretaris Menteri Kementerian PPPA, Pribudiarta Nur Sitepu mengatakan, pemerintah memandangnya sebagai kejahatan yang harus dilawan bersama.

Ia meminta orang tua dan guru bisa memiliki kontribusi untuk deteksi dini kekerasan seksual pada anak, yaitu dengan memberikan pendidikan seksual. Ini penting karena kondisi dan usia berbeda pada setiap anak punya kondisi dan psikologis dan fisik yang berbeda. Karena itu, pengembangan materi harus tepat. Misalnya setiap anak harus menghindari kekerasan seksual dengan mengerti apa yang boleh dipegang, tidak boleh dipegang, hingga apa yang boleh dilihat dan tidak boleh dilihat.

"Dia harus tahu seksualitas tubuh," ujarnya saat pemaparan konferensi pers anak artis Nafa Urbach yang menjadi incaran pedofilia di Jakarta, Senin (21/8).

Sementara, pemberian materi pendidikan seksual untuk anak kecil yang masih duduk di bangku taman kanak-kanak bisa melalui boneka. Ia menyebut Kementerian PPPA sudah mengembangkan metodenya melalui boneka untuk memudahkan murid supaya cepat memahaminya. Namun, ia menegaskan yang seharusnya bertanggung jawab memberikan pendidikan seksual adalah kalangan orang tua dan guru. "Karena mereka ini yang jadi pengasuh utama anak. Jadi, lebih baik berbasis keluarga," katanya.

Selain itu, ia meminta kedua orang tua harus mampu mendeteksi dini potensi yang mungkin timbul terhadap anaknya. Orang tua diminta mampu menjalin komunikasi yang baik dengan anaknya. "Kemudian (lingkungan) orang-orang di sekitar, misalnya tinggal di RT/RW, mereka mampu untuk melindungi anak-anak yang ada di komunitasnya," ujarnya.

Sedangkan upaya nyata pemerintah terkait hal ini, kata dia, yaitu menerbitkan UU nomor 17 tahun 2016 menekankan situasi darurat kekerasan seksual anak, dengan vonis hukuman mati, seumur hidup, 20 tahun, dan 10 tahun. Hukuman suntikan kebiri dilakukan pada kasus-kasus yang sifatnya berulang-ulang dan menimbulkan kerusakan pada korban.

Selain itu, Kementerian PPPA punya perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PTBM) untuk membantu masyarakat mencegah, kemudian mampu untuk merespons cepat dan deteksi dini. Pihaknya juga bekerja sama dengan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi untuk membantu menyediakan fasilitator tingkat desa untuk mengantisipasi kasus ini.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement