REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Mahkamah Agung (MA) Suhadi mengatakan, MA akan mempelajari permintaan fatwa Kejaksaan Agung (Kejagung) terkait aturan permohonan grasi terpidana mati. Kejaksaan Agung membutuhkan fatwa karena batasan grasi selama ini telah menghambat pelaksanaan eksekusi mati khususnya kasus narkotika.
"Nanti kami pelajari dulu, karena UU grasikan sudah ada," katanya di Gedung KPK, Jakarta, Selasa (22/8).
Suhadi menerangkan, dalam UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi menyebutkan batasan waktu pengajuan grasi itu selama satu tahun. Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan tersebut.
MK dalam putusan yang dibacakan Juni tahun lalu menyatakan jangka waktu pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
Lebih lanjut Suhadi mengatakan, MA belum bisa bicara banyak mengenai permintaan fatwa oleh Kejagung terkait permohonan grasi terpidana mati. "Yang jelas kami tidak bisa buat UU yang menyimpangi aturan itu," ucapnya.
Sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo akan meminta fatwa kepada Mahkamah Agung soal kepastian batasan grasi bagi terpidana mati. Prasetyo menilai banyak terpidana mati yang sengaja memanfaatkan grasi untuk mengulur-ulur waktu. Hal ini lantaran tidak ada batasan waktu bagi pengajuan grasi.
Menurut Prasetyo hal tersebut bukan hanya berakibat pada molornya eksekusi mati, namun juga membuka peluang terpidana tetap melakukan kejahatan dari balik jeruji. Dia mencontohkan ada terpidana kasus narkoba yang bisa mengoperasikan bisnis haram itu dari penjara. Karena itu, dia menyatakan, perlu ada kajian batasan waktu bagi para terpidana untuk mengajukan grasi.
"Grasi itu sepenuhnya hak prerogratif Presiden, akan memberikan ampun atau tidak. Ketika Presiden memberikan ampun ya tentunya akan kita ikuti, kalau tidak ya itulah keputusannya. Sekarang persoalannya dengan grasi mereka (bisa) meminta waktu lagi seenaknya saja," kata Prasetyo.
Prasetyo mengatakan ketidakpastian batasan grasi ini mencuat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun lalu. Sebelumnya, Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang Grasi (UU Grasi) menyebutkan batasan waktu pengajuan grasi itu selama satu tahun.
Namun, Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan aturan tersebut. MK dalam putusan yang dibacakan Juni tahun lalu menyatakan jangka waktu pengajuan grasi dapat dilakukan lebih dari satu tahun sejak putusan memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht).
"Kan sekarang (grasi) tidak ada batasan waktunya. (Misalnya) Kan dia (terpidana) ngomong saya mengajukan grasi tapi kapan mengajukan grasi itu tidak ada kepastian," ucapnya.
Prasetyo mengatakan permintaan fatwa tidak hanya dikirimkan ke MA, namun juga MK. Dia tidak ingin keberadaan grasi justru dimanfaatkan oleh para terpidana untuk menghambat proses hukum. "Makanya nanti kita akan buat surat ke MK da MA untuk meminta fatwa biar ada kepastian, kalau tidak gantung terus," ujarnya.
Dalam pertimbangan putusan itu, MK sebenarnya telah memahami kemungkinan penyalahgunaan pengajuan upaya grasi. Misalnya saja, upaya grasi oleh terpidana atau keluarganya digunakan untuk menunda eksekusi atau pelaksanaan putusan. Terhadap hal tersebut, Mahkamah menyatakan jaksa sebagai eksekutor tidak harus terikat pada tidak adanya jangka waktu pengajuan grasi apabila terpidana atau keluarganya tidak menggunakan hak atau kesempatan untuk mengajukan permohonan grasi.
Jaksa juga tidak perlu terikat dengan aturan jangka waktu pengajuan grasi ketika sudah menanyakan kepada terpidana atau keluarganya tentang rencana pengajuan grasi. Menurut MK, tindakan demikian secara doktriner tetap dibenarkan meskipun tidak diatur secara eksplisit dalam undang-undang sehingga demi kepastian hukum tidak ada larangan bagi jaksa selaku eksekutor untuk menanyakan kepada terpidana atau keluarganya perihal akan digunakan atau tidaknya hak untuk mengajukan grasi tersebut.