Kamis 24 Aug 2017 12:01 WIB

Soal First Travel, Kemenag tak Bisa Lepas Tanggung Jawab

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Winda Destiana Putri
Warga menunggu mengurus pengembalian dana atau refund terkait permasalahan umroh promo di Kantor First Travel, Jakarta Selatan, Rabu (26/7).
Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warga menunggu mengurus pengembalian dana atau refund terkait permasalahan umroh promo di Kantor First Travel, Jakarta Selatan, Rabu (26/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menilai pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama tidak bisa lepas tanggungjawab terhadap kasus dugaan penipuan First Travel terhadap 35 ribu calon jamaah umrah.

Menurut Bhima, Kemenag juga bertanggung jawab atas masalah tersebut karena telah memberikan izin usaha kepada First Travel. Kasus ini, menurutnya, juga disebabkan kesalahan pemerintah karena lemahnya pengawasan terhadap izin yang dikeluarkan.

"Ini yang memberi izin siapa, harusnya yang memberi izin juga bertanggung jawab. Harus diakui, kasus First Travel ini juga kesalahan dari lemahnya pengawasan pemerintah," kata dia kepada Republika, Kamis (24/8).

Karena itu, lanjut Bhima, pencabutan izin usaha First Travel tidak akan menyelesaikan masalah. Pemerintah justru harus berinisiatif untuk melakukan koordinasi dengan manajemen First Travel supaya menemukan jalan keluar. "Jangan kemudian langsung ditutup, masalahnya kan enggak selesai dengan cara seperti itu," kata dia.

Ke depannya, Bhima mengatakan, Kemenag perlu membentuk lembaga penjamin umrah yang berfungsi menjamin uang setoran calon jamaah umrah. Setoran ini semacam asuransi yang akan diberikan kepada jamaah. Lembaga ini harus dibentuk agar tidak terjadi lagi kasus dugaan penipuan seperti yang dilakukan biro perjalanan umroh First Travel.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement