REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah melalui Direktur Litigasi Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham Niniek Hariwanti menjelaskan bahwa pokok permohonan uji materi terkait hak angket DPR tidak bertentangan dengan UUD 1945.
"Hak angket DPR merupakan kebijakan terbuka pembentuk undang-undang (Pemerintah dan DPR)," ujar Niniek ketika memberikan keterangan Pemerintah dalam sidang uji materi UU MD3 di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa (29/8).
Niniek menjelaskan bahwa Pasal 20A UUD 1945 telah memberikan kewenangan yang bersifat kebijakan terbuka kepada pemerintah dan juga DPR untuk mengatur mengenai hak angket DPR.
Terkait dengan kebijakan tersebut, tidak terdapat batasan mengenai pihak yang dapat diselidiki melalui penggunaan hak angket tersebut.
"Hal ini sepanjang dalam rangka melaksanakan kepentingan bangsa dan negara serta sejalan dengan UUD 1945," kata Niniek.
Dengan demikian pilihan kebijakan Pemerintah dan DPR berkenaan dengan hak angket merupakan pilihan hukum dari Pemerintah dan DPR.
"Pilihan kebijakan yang demikian tidaklah dapat diuji, kecuali pilihan tersebut dilakukan secara sewenang-wenang dan melampaui kewenangan pembuat undang-undang," ujar Niniek dalam sidang di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebelumnya, sejumlah pegawai KPK melakukan pengujian terkait tentang hak angket DPR yang meminta keseluruhan Pasal 79 ayat (3) UU MD3 menjadi konstitusional bersyarat (Perkara Nomor 40/PUU-XV/2017).
Hal serupa diungkapkan oleh Mantan Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Konfederasi Persatuan buruh Indonesia (KPBI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Selamatkan KPK selaku Pemohon Perkara Nomor 47/PUU-XV/2017.
Pasal 79 ayat (3) menyebutkan bahwa hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara itu, menurut Pemohon, kewenangan hak angket DPR terhadap KPK tidak memenuhi unsur hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat Indonesia.
Pemohon berpendapat bahwa hak angket ini lebih terlihat memperjuangkan kepentingan politik untuk intervensi proses peradilan khusus kasus korupsi KTP elektronik yang sedang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Dengan demikian pemohon berpendapat objek yang diusung oleh DPR untuk menyelidiki proses beperkara di KPK jauh dari yang ditentukan undang-undang.
Pemohon juga meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 199 ayat (3) terkait dengan syarat formil dilaksanakannya hak angket, seperti mekanisme pengajuan usul hak angket, prosedur hak angket, dan pembentukan panitia hak angket.