Senin 04 Sep 2017 17:54 WIB

10 Hari Terakhir, 90 Ribu Warga Rohingya Lari dari Myanmar

Rep: Marniati/ Red: Bilal Ramadhan
Sejumlah umat muslim Rohingya menunaikan Salat Iduladha di Masjid Pealeshung, di kawasan kamp pengungsian internal di kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Sabtu (2/9).
Foto: Antara/Willy Kurniawan
Sejumlah umat muslim Rohingya menunaikan Salat Iduladha di Masjid Pealeshung, di kawasan kamp pengungsian internal di kota Sittwe, negara bagian Rakhine, Myanmar, Sabtu (2/9).

REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Hampir 90 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh dalam 10 hari terakhir. Mereka menyelamatkan diri dari upaya perkosaan, pembunuhan dan tindakan pembakaran yang dilakukan oleh tentara Myanmar.

Juru bicara regional untuk UNHCR, Vivian Tan mengatakan warga Rohingya yang telah menyeberang ke Bangladesh sejak kekerasan meletus pada 25 Agustus lalu didominasi oleh wanita, anak-anak dan orang tua.

"Kami melihat banyak wanita hamil, bayi baru lahir dan orang tua berhasil menuju kamp bantuan di sisi perbatasan Bangladesh. Sayangnya kita juga mendengar banyak dari mereka belum makan berhari-hari," ujar Vivian Tan seperti dilansir Aljazirah, Senin (4/9).

Tan mengatakan  angka terbaru ini tidak termasuk pengungsi yang telah melarikan diri dari dekade-dekade sebelumnya atau mereka yang telah mendirikan tempat penampungan sementara di wilayah antara perbatasan Bangladesh dan Myanmar.

"Sejak tahun 1970an, hanya 34 ribu orang Rohingya yang terdaftar di PBB di Bangladesh, dengan perkiraan pengungsi yang tidak terdaftar sebanyak ratusan ribu," katanya.

Menurut PBB, Rohingya merupakan salah satu minoritas dunia yang paling teraniaya. Ribuan orang Rohingya meninggalkan rumah mereka setiap tahun untuk mencapai Bangladesh dan negara-negara tetangga lainnya demi menghindari tentara Myanmar.

Eksodus masal terbaru terjadi setelah gerilyawan Rohingya menyerang pos polisi dan sebuah pangkalan militer di wilayah barat Rakhine. Sebagai penandatangan Konvensi Pengungsi 1951, Bangladesh menolak untuk mendaftarkan Rohingya sebagai pengungsi sejak awal 1990an, dan juga tidak mengizinkan mereka untuk mengajukan klaim suaka.

Ro Nay San Lwin, seorang aktivis Rohingya dan blogger yang berbasis di Eropa, mengatakan bahwa para pengungsi tersebut berjuang untuk dapat kembali ke tanah air leluhur mereka. Dengan menggunakan jaringan aktivis di lapangan untuk mendokumentasikan konflik tersebut, San Lwin mengatakan bahwa beberapa pengungsi berjalan tujuh atau delapan hari dari Buthidaung untuk sampai ke Bangladesh, sementara yang dari Maungdaw harus berjalan selama lima hari.

Hingga 30 ribu pengungsi Rohingya tinggal di Kutupalong dan Nayapara, dua kamp yang dikelola pemerintah di dekat Cox's Bazar, dengan puluhan ribu lagi tinggal di kamp-kamp darurat. "Semua dari mereka sangat lemah, mengalami dehidrasi dan lapar dan pemerintah Bangladesh sama sekali tidak membantu situasi mereka. Kecuali pemerintah Bangladesh membuka perbatasan, mereka menerima para pengungsi ini secara tidak resmi dan tidak mungkin mereka bisa kembali ke tanah air mereka secara resmi," katanya.

Video yang diunggah di media sosial menunjukkan puluhan pria, wanita dan anak-anak bersembunyi di hutan Myanmar setelah pasukan keamanan menghancurkan desa mereka. Dalam video terpisah, seorang wanita Rohingya mengatakan bahwa dia dan keluarganya tidak makan berhari-hari.

Menurut perkiraan terakhir oleh pekerja bantuan PBB di Bangladesh, hampir 150 ribu  orang Rohingya mencari perlindungan di negara ini sejak Oktober. Rakhine adalah rumah bagi 1,1 juta Rohingya di Myanmar, yang hidup  dalam kemiskinan dan menghadapi diskriminasi yang meluas oleh mayoritas umat Buddha.

Rohingya Muslim banyak dicerca sebagai migran ilegal dari Bangladesh, meski telah tinggal di daerah tersebut selama beberapa generasi. Mereka dianggap tidak memiliki kewarganegaraan oleh pemerintah dan PBB yakin tindakan keras tentara tersebut sebagai bentuk  pembersihan etnis.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement