Selasa 05 Sep 2017 13:55 WIB

Angin Kencang di Laut, TPI Sepi

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus Yulianto
Puluhan kapal nelayan ditambatkan di Pantai Glayem, Kabupaten Indramayu. Mereka tidak berani melaut, karena konsdisi angin kencang yang menyebabkan gelombang tinggi (Ilustrasi)
Puluhan kapal nelayan ditambatkan di Pantai Glayem, Kabupaten Indramayu. Mereka tidak berani melaut, karena konsdisi angin kencang yang menyebabkan gelombang tinggi (Ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Angin kencang di perairan Indramayu, sejak lebih dari sebulan terakhir, membuat nelayan enggan melaut. Akibatnya, pasokan ikan menjadi menurun dan menyebabkan sepinya tempat pelelangan ikan (TPI) dari aktivitas lelang.

Berdasarkan pantauan Republika.co.id, di TPI Glayem, Kecamatan Juntinyuat, Kabupaten Indramayu, Senin (4/9), TPI yang biasanya ramai dan riuh oleh aktivitas lelang ikan, tampak sepi. Sejumlah pembeli/bakul ikan duduk termenung di pinggir TPI menantikan nelayan yang datang membawa hasil tangkapan ikan.

Namun, jumlah nelayan yang datang bisa dihitung dengan jari satu tangan. Hasil tangkapan yang mereka bawa pun hanya berupa ikan kurisi dan kuniran, juga dengan jumlah sedikit. Sedangkan jenis ikan lainnya seperti kakap, teri, termasuk cumi-cumi, tampak kosong. 'Sepi, sekarang susah cari ikan. Nelayannya pada nggak melaut," ujar salah seorang calon pembeli, Raminah.

Raminah biasanya membeli cumi dari lelang di TPI Glayem. Cumi itu selanjutnya dijualnya kembali dengan berjualan keliling ke pemukiman warga.

Pengurus KUD Sri MinaTPI Sari Glayem, Dedi Aryanto, saat dikonfirmasi, mengakui, sepinya TPI akibat sebagian besar nelayan di daerah tersebut tidak melaut. Perahu kecil yang digunakan nelayan, sangat rawan diterjang angin kencang. "Hanya nelayan yang mentalnya kuat saja yang berani melaut," kata Dedi, Selasa (5/9).

Dedi menyebutkan, dalam kondisi normal, perahu yang berangkat melaut dan melakukan lelang di TPI Glayem bisa mencapai 50 – 100 perahu per hari. Namun saat ini, perahu yang melaut hanya di kisaran tiga sampai lima perahu.  

Akibatnya, hasil tangkapan yang dilelang juga merosot tajam. Biasanya, nilai transaksi lelang di TPI Glayem berkisar Rp 50 juta – Rp 100 juta per hari. Namun, sejak sebagian besar nelayan tak melaut, nilai transaksi lelang di bawah Rp 10 juta. "Bahkan kadang Rp 0," tutur Dedi.

Dedi mengatakan, sesuai hukum ekonomi, kosongnya pasokan ikan itu juga membuat harga ikan menjadi naik. Namun meskipun begitu, pendapatan nelayan tak ikut naik karena modal yang mereka keluarkan untuk melaut juga lebih besar dibandingkan saat kondisi normal.

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua DPC Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Kabupaten Indramayu itu menambahkan, kondisi tersebut tak hanya terjadi di TPI Glayem. Namun, juga terjadi di sebagian besar TPI lainnya di Kabupaten Indramayu.

Menurut Dedi, nelayan kecil takut mengalami kecelakaan di laut jika memaksakan diri pergi melaut. Pasalnya, perahu mereka tak kuat menahan kencangnya tiupan angin yang mereka kenal dengan istilah angin timuran tersebut.

Selain itu, hasil tangkapan nelayan pun tak sebanding dengan risiko dan modal yang mereka keluarkan. Seperti misalnya, untuk nelayan yang melaut menggunakan perahu berukuran dibawah tiga gross ton (GT), modal melautnya mencapai Rp 200 ribu – Rp 300 ribu. Sedangkan hasil yang diperoleh, seringkali lebih kecil dari modal yang dikeluarkan.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement