Selasa 12 Sep 2017 08:54 WIB

Usul Pembekuan KPK, Tindakan Bunuh Diri

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/9).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo mengikuti rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (11/9).

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pengamat hukum dan politik dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Nicolaus Pira Bunga menilai, usulan pembekuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dari politisi PDI-P Henry Yosodiningrat merupakan tindakan "bunuh diri" politis, baik pribadi maupun kelompok.

Usulan "bunuh diri" karena saat ini KPK tengah dipercaya penuh masyarakat sebagai lembaga negara yang berperan memberantas korupsi. "Sehingga, ketika ada pihak yang mengusulkan untuk dibekukan atau dibubarkan akan berhadapan dengan masyarakat," katanya, kemarin.

Mantan Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Undana Kupang itu mengatakan hal tersebut mengomentari pernyataan anggota Pansus Angket KPK dari fraksi PDI-P Henry Yosodiningrat yang mengatakan, dari hasil penyelidikan panitia angket, ada banyak hal di KPK yang harus dibenahi dan pembenahan ini butuh waktu lama.

"Maka, jika perlu, untuk sementara KPK disetop dulu. Kembalikan (wewenang memberantas korupsi) kepada kepolisian dan Kejaksaan Agung dulu," kata Henry mengutip pernyataan Henry dari media massa.

Menurut Nicolaus Pira Bunga, lembaga antirasuah itu masih sangat dibutuhkan rakyat di Republik ini, sehingga upaya penguatan harus terus dilakukan, bukannnya berupaya memperlemah KPK. Sebab, korupsi adalah kejahatan luar biasa sehingga harus diberantas untuk menyelamatkan uang rakyat yang dikelola negara guna membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

"Saatnya perlu memperkuat pencegahan korupsi di daerah-daerah melalui pemanfaatan sistem elektronik bukannya sebaliknya membekukan apalagi membubarkan KPK," katanya.

Menurut dia apabila hal itu (sistem elektronik/aplikasi) dilakukan, maka niat untuk melakukan tindakan penyimpangan semakin kecil karena telah teratur dalam aplikasi dan sistem elektronik khususnya dalam penerapan e-planning atau manajemen perencanaan.

Ia menyebut 10 daerah yang rawan tindak pidana korupsi dan menjadi prioritas pengawasan oleh KPK saat ini. Sepuluh daerah itu, di antaranya Aceh, Papua, Papua Barat, dan Riau. Selain itu, Banten, Sumatera Utara, Bengkulu, Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, serta Sulawesi Tengah.

Menurut Pira Bunga, upaya pencegahan itu penting dan mendesak, sebab belum tentu dalam konteks daerah hanya 10 daerah itu. "Mungkin saja masih ada daerah yang lain, hanya saja 10 daerah ini yang sempat muncul ke permukaan, sehingga perlu tindakan pencegahan segera," katanya lagi.

Presiden Joko Widodo sebelumnya menyatakan dukungan agar tidak terjadi pelemahan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Perlu saya tegaskan bahwa saya tidak akan membiarkan KPK diperlemah. Oleh sebab itu kita harus sama-sama menjaga KPK," kata Presiden usai meresmikan ruas jalan tol Kertosono Mojokerto Seksi II dan III Jombang-Mojokerto Barat di Gerbang Tol Mojokerto, Kabupaten Mojokerto, Provinsi Jawa Timur, Ahad (10/9).

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement