REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus penanganan rumah sakit terkendala urusan biaya tak hanya menimpa bayi Debora. Di Depok kisah serupa juga terjadi.
Warga Depok Dinda yang harus kehilangan ibu kandungnya lantaran keterlambatan penanganan medis. "Mama saya waktu nafasnya sudah tersengal-sengal dari pukul 13.00 WIB, tapi baru di CT scan pukul 16.00 WIB karena menunggu pembayaran lunas dulu. Karena waktu itu saya harus cari pinjaman dan baru bisa bayar pukul 16.00 WIB itu," ujar dia saat dihubungi Republika.co.id via telepon, Selasa (12/9) sore.
Belum lagi setelah CT scan, Dinda juga harus menunggu ruangan kosong dulu dan tidak langsung dibawa ke ICCU padahal kondisi ibunya sudah kritis. Beruntung dia punya kenalan perawat dan menceritakan kondisi ibunya, dan langsung protes ke perawat rumah sakit tersebut karena tidak membawa ibunya ke ICCU.
"Saya waktu itu menangis seharian, mungkin mereka sudah tahu mama saya sedang sakaratul maut, karena mereka pasti sering melihat tanda-tanda itu. Tapi dengan memberikan pelayanan seperti itu, hati kami sekeluarga tentu makin teriris, sudah ditimpa musibah, pihak rumah sakit malah seolah masa bodo karena sudah memastikan mama saya akan meninggal," ujar Dinda dengan nada lunglai.
"Mungkin kode etik kedokteran sekarang berisi, uang dan BPJS aman, baru nyawa aman. Jadi kalau sakit dan tidak mau mati, uang dan BPJS harus di tangan dulu, urusan nyawa belakangan. Sekarang gini deh, mama saya waktu itu sudah tersengal-sengal dan koma, lalu masih dientar-entarin. Saya nggak habis pikir, saya lihat di UGD itu yang koma cuma mama saya," ujar dia geram.
Chief, Division of Cardio-vascular and Thoracic Surgery, Tampa General Hospital, Florida, Amerika Serikat, Husain F Nagamia memaparkan dalam tulisannya berjudul ''Islamic Medicine History and Current Practice'' tentang awal kemunculan rumah sakit.
Kemunculan rumah sakit berkembang dalam jumlah besar ketika pada masa Islam. Pada zaman itu disebut sebagai ''Bimaristan'' atau ''Maristan''. Ide pembangunan Rumah Sakit, muncul pada masa kepemimpinan Caliph al-Walid Ummayad pada 705-715 Masehi. Namun, berdirinya Rumah Sakit yang sebenarnya, pada masa kepemimpinan Caliph Harun al-Rashid yakni 786-809 Masehi. ''Bimaristan'' pada masa ini berkembang pesat di Baghdad.
Kemudian, salah satu rumah sakit terbesar yang didirikan di Mesir pada 1248, menurut tulisan Husain, membuat sebuah pernyataan bahwa ''Rumah sakit harus merawat semua pasien. Tidak peduli laki-laki atau perempuan. Seluruh biaya ditanggung oleh rumah sakit, meskipun pasien itu datang dari jauh atau dekat, kuat atau lemah, rendah atau tinggi, kaya atau miskin, pegawai atau pengangguran, buta atau tidak, cacat atau tidak, terpelajar atau tidak. Tidak ada kondisi pertimbangan atau pembayaran, artinya tidak ada seorangpun secara objektif atau bahkan secara tidak langsung mengisyaratkan untuk menerima bayaran. Seliruh pelayanan murni karena kebesaran Allah, the gen- erous one!''
Tugas kemanusiaan dokter yang memang disebut-sebut sejak berdirinya sebuah rumah sakit, juga tertuang dalam Kode Etik Kedokteran 2017 di Indonesia. Dalam butir Kewajiban Dokter Terhadap Pasien pasal 17 disebutkan, setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
Dengan jelas kewajiban itu disebutkan, dan tanpa ada syarat harus memiliki uang atau BPJS. Bahkan dalam sumpah dokter pasal 1, juga dengan jelas disebutkan ''Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan''.