REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim dalam Islam memiliki kedudukan yang sangat penting. Hakim atau dalam khazanah Islam sering disebut qadhi adalah seseorang yang bertanggung jawab dalam menjelaskan hukum Allah SWT kepada umat Islam. Proses menjelaskan hukum-hukum Allah ini sendiri disebut dengan qadha'.
Ulama mengategorikan hukum qadha' adalah fardhu kifayah. Harus ada yang memberikan penjelasan tentang syariat Islam kepada manusia. Beban ini diberikan kepada penguasa atau khalifah. Dalam sebuah wilayah tertentu, khalifah boleh mewakilkan kewajiban ini kepada hakim. Jadi, dalam Islam, sejatinya hakim adalah wakil resmi khalifah di sebuah wilayah utamanya dalam penerapan hukum Islam.
Aturan ini dimaknai dari hadis Rasulullah SAW, "Tidak halal bagi tiga orang yang tinggal di suatu wilayah dari belahan bumi, melainkan mereka harus mengangkat salah seorang dari mereka sebagai pemimpin mereka." (HR Ahmad).
Seorang hakim sebagai wakil Allah SWT dan khalifah memiliki tugas yang sangat berat. Jika ia memutuskan sebuah perkara dengan hukum yang menyelisihi keadilan dan nilai-nilai syara, tempatnya adalah di neraka.
Hakim sendiri menurut sebuah hadis terbagi dalam tiga kelompok. Dua kelompok akan dimasukkan ke dalam neraka dan hanya satu kelompok yang selamat hingga ke surga. Kelompok hakim yang masuk surga adalah mereka yang mengetahui kebenaran dan memutuskan hukuman berdasarkan kebenaran tersebut.
Sementara, hakim yang paham bagaimana yang baik dan benar namun memutuskan perkara dengan menyimpang maka ia adalah golongan penghuni surga. Golongan ketiga adalah hakim yang bodoh dan memutus perkara dengan kebodohannya. Pembagian ini sesuai dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud, Ibnu Majah, dan Tirmidzi.
Dalam konsep hukum Islam, sejatinya jabatan qadhi bukanlah jabatan yang diperuntukkan bagi mereka yang meminta. Jabatan ini diberikan kepada orang yang memiliki kualifikasi. Karena begitu berat konsekuensi dari seorang hakim, ia harus siap menanggung semua beban itu.
Hakim tak layak diisi oleh orang yang ambisius mengejar jabatan. Orang yang mengejar kedudukan cenderung mengabaikan hak orang lain, tidak amanah, dan berpeluang besar menjadi khianat.
Rasulullah SAW bersabda, "Demi Allah, sesungguhnya kami tidak akan menguasakan tugas ini (hakim) kepada orang yang memintanya atau orang yang berambisi menjabatnya." (HR Bukhari Muslim).
Syekh Abu Bakar Jabir al-Jaza memberikan beberapa syarat bagi mereka yang berhak diangkat menjadi hakim. Seorang hakim dalam hukum Islam mestilah Muslim, berakal, baligh, merdeka, memahami Alquran dan sunah, mengetahui dengan apa ia memutus perkara, dapat mendengar, melihat, dan berbicara.
Syekh Abu Bakar juga mewanti-wanti kepada siapa pun yang menjabat sebagai hakim agar menjauhi hal-hal berikut. Pertama, tidak memutus sebuah perkara dalam keadaan emosi, lapar, sakit, atau malas. Sabda Nabi SAW, "Seorang hakim tidak boleh memutus perkara di antara dua orang yang berperkara dalam keadaan marah." (HR Bukhari Muslim).
Seorang hakim juga tak boleh memutus perkara tanpa adanya saksi, tidak boleh memutus perkara yang ada kaitan dengan dirinya seperti perkara anaknya, bapaknya, atau istrinya. Tidak boleh menerima suap dalam menetapkan hukuman. Nabi SAW bersabda, "Laknat Allah terhadap penyuap dan penerimanya dalam menetapkan hukuman." (HR Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
Ia juga tidak boleh menerima hadiah dari seseorang yang tidak pernah memberinya hadiah sebelum diangkat menjadi hakim. Sabda Rasulullah SAW, "Barang siapa yang kami angkat untuk mengerjakan suatu pekerjaan, kemudian kami memberinya rezeki (gaji), maka sesuatu yang didapatkannya setelah itu adalah pengkhianatan." (HR Abu Daud dan Hakim).