REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengusaha mikro Indonesia bisa didefinisikan sebagai warga miskin yang punya usaha. Ini menunjukkan kebanyakan warga miskin Indonesia bukanlah peminta-minta.
Pendiri Bina Swadaya Bambang Ismawan menjelaskan, dalam survei kewirausahaan yang dilakukan BBC London pada 2011, Indonesia dinilai sebagai negara nomer satu kewirausahaannya disusul AS dan Kanada. Dalam pembahasan publik di sebuah stasiun televisi swasta, Bina Swadaya, British Coucil, dan Guinness Foundation akhirnya sepakat orang miskin Indonesia bukan meminta-minta, tapi orang yang sibuk menghidupi diri.
Indonesia punya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Di dalamnya ada rumusan usaha mikro, kecil, dan menengah. Menurut Kememkop dan UMKM, jumlah UMKM Indonesia sendiri mencapai 57,1 juta unit.
Sebanyak 57,1 juta unit usaha ini pun lazim dijumpai sehari-sehari, seperti pedagang keliling yang sebarannya dari desa hingga perkotaan. ''Di Indonesia, pengusaha mikro adalah orang miskin yang aktif secara ekonomi,'' kata Bambang dalam konferensi pers rencana pelaksanaan konferensi Social Enterprise Advocacy and Leveraging (SEAL) ke dua di Kantor Dompet Dhuafa, Kamis (14/9).
Para pengusaha mikro berusaha menghidupi diri dengan usaha sendiri dan mereka tetap bisa disebut pengusaha. Definisi pengusaha sendiri adalah pengambil risiko atas keputusan usaha mereka.
Ada teori menyebutkan sebuah negara akan maju bila jumlah pengusahanya sekitar dua persen dari total penduduk. Dari komposisi, usaha mikro mencapai 98,8 persen dari entitas usaha yang ada. ''Mereka itu pengusaha miskin yang mati-matian bertahan,'' ucap Bambang.
Bina Swadaya adalah lembaga masyarakat yang mempromosikan usaha sosial melalui pelatihan dan pembinaan untuk meningkatkan keberdayaan pengusaha mikro. ''Kami ingin pembangunan memberdayakan dan mensejahterakan rakyat,'' kata Bambang.
Bersama Dompet Dhuafa, Bina Swadaya tergabung dalam Instutute of Social Enterpreneurship in Asia (ISEA). ISEA ingin para pengusaha mikro jadi tuan rumah dalam pembangunan ekonomi di negerinya.
Kondisi pengusaha mikro di negara-negara yang tergabung dalam ISEA punya kemiripan. Karena itu, ISEA menggelar forum bersama untuk saling bertukar pandangan dan pengalaman dalam Social Enterprise Advocacy and Leveraging (SEAL).
''ISEA adalah forum saling belajar. Sebab memberdayakan masyarakat tidak ada sekolah atau mata kuliahnya,'' ucap Bambang.
Rencananya, ISEA akan melaksanakan konferensi Social Enterprise Advocacy and Leveraging (SEAL) ke dua di Bali pada 26-30 September 2017 mendatang. Forum serupa pertama kali digelar di Manila, Filipina pada 2014 lalu.