Jumat 15 Sep 2017 13:42 WIB
Wawancara Eksklusif Menlu RI Retno LP Marsudi

'Orang-Orang Rohingya Harus Segera Diselamatkan'

Menteri Luar Negeri, Retno L.P Marsudi
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Menteri Luar Negeri, Retno L.P Marsudi

Oleh Fitriyan Zamzami, Kamran Dikarma

Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi tidak punya banyak waktu di Tanah Air akhir-akhir ini. Krisis kemanusiaan di Rakhine, Myanmar, dan peran unik Indonesia membuatnya ke sana-ke mari. Rehat sebentar dari Myanmar dan Bangladesh pekan lalu, hari ini Retno akan bertolak mengikuti Majelis Umum PBB di New York, AS, dengan 71 jadwal pertemuan. Kebanyakan, ia perkirakan, terkait masalah Rohingya.

Di sela-sela kesibukannya tersebut, dia menerima tim Republika dan bercerita panjang lebar soal diplomasi Indonesia terkait krisis itu, soal kekhawatiran merebaknya konflik di kawasan, dan kompleksitas persoalan di Myanmar. Menlu terlihat memilih kata dengan hati-hati mengingat peliknya krisis Rohingya. Berikut petikan wawancara tersebut.

Bagaimana perkembangan diplomasi Indonesia saat ini terkait penyelesaian krisis Rohingya?

Sejak berkunjung ke Myanmar dan Bangladesh pada 4 dan 5 Agustus lalu, semua pihak yang akan, katakanlah ingin mengetahui situasi dan bantuan apa yang dapat diberikan, itu selalu menghubungi Indonesia. Hal ini karena Indonesia dinilai pendekatannya konstruktif. Menyampaikan pesan tapi tidak merusak semuanya. Dengan pendekatan yang konstruktif ini, kita juga dapat diterima oleh semua pihak.

Dua sampai tiga pekan belakangan ini, kita juga berusaha menjalin komunikasi dengan banyak pihak untuk mencari jalan bagaimana agar kita secepatnya bisa membantu pengungsi Rohingya. Fokus kita adalah bagaimana Indonesia bisa membantu agar krisis kemanusiaan segera dapat diselesaikan.

Kata “membantu” ini perlu sekali untuk ditekankan. Karena sekali lagi, ini adalah wilayah orang lain, yang penyelesaiannya tidak tergantung kepada Indonesia, tapi pada banyak pihak, termasuk yang paling utama adalah Myanmar sendiri.

Setidaknya yang paling kita tekankan adalah, sebagai warga dari dunia, kita berusaha untuk membantu. Apalagi mereka tetangga dekat kita, mereka ada di ASEAN. Orang-orang Rohingya ini harus segera diselamatkan. Karena kalau tidak, bukan tidak mungkin dampaknya akan merembet ke kawasan. Setidaknya dari segi stabilitas, akan menciptakan ketidakstabilan.

Berdasarkan pertemuan Anda dengan panglima militer Myanmar dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, bagaimana sebenarnya mereka memandang persoalan di Rakhine?

Pertama, kompleksitas isu ini tinggi sekali. Isu mengenai hubungan komunal yang tidak harmonis itu sudah ada bertahun-tahun. Dan isu Rakhine State ini bukan satu-satunya isu komunal di Myanmar. Ada mungkin sekitar 10 lagi isu yang kurang lebih sama.

Yang kedua, Myanmar sedang dalam situasi transisi dari yang sebelumnya pemerintahan militer kemudian sekarang pemerintahan sipil yang dipilih secara demokratis. Dan kita bisa melihat bahwa hal yang paling penting dari proses transisi dari pemerintahan militer adalah bagaimana melakukan rekonsiliasi militer dan sipil. Kita tahu itu bukan hal yang mudah.

Jadi, dengan kompleksitas masalah seperti ini, mereka mencoba memperbaiki, tapi tampaknya belum optimal. Dan apa yang terjadi saat ini, sama sekali bukan sesuatu yang dapat diterima.

Misalnya, pada tanggal 25 (Agustus) ada serangan dari ARSA. Serangan itu sendiri juga tidak bisa diterima. Bagi kita, penggunaan kekerasan dalam bentuk apa pun tidak boleh dilakukan. Tetapi merespons ini juga, saya kira, kok bisa dikatakan (terdiam sejenak)… sudah… apa ya… sudah agak berlebihan. Karena kita lihat saja dari korban. Korban ini kan kita bisa lihat kok banyak sekali yang mengungsi dan sebagainya.

Kuncinya adalah menahan diri secara maksimum dan tidak menggunakan kekuatan militer. Sehingga memang kalau kita mau membantu, mau tidak mau kompleksitas situasi itu harus ada di latar belakang kita. Jadi, oke ini akan kita address, tapi di back mind kita, kita harus tahu sejarahnya, situasi kompleksitas masalahnya, hubungan negara bagian dengan pusat, belum lagi geopolitiknya seperti apa, dan lain-lain.

Jadi yang terjadi di Rakhine konflik vertikal?

No. Komunal.

Dalam pertemuan dengan Aung San Suu Kyi, Anda mengajukan sejumlah usulan. Apakah ada harapan Myanmar akan memenuhi permintaan itu?

Ketika saya berbicara dengan Aung San Suu Kyi, saya mengajukan formula 4+1. Yakni, perlunya stabilitas dan keamanan, kemudian tindakan menahan diri secara maksimum dari penggunaan kekuatan (militer), yang ketiga perlindungan untuk semua tanpa melihat agama, etnis, dan sebagainya, serta membuka akses bantuan kemanusiaan. Yang satunya lagi adalah implementasi laporan Kofi Annan (mantan sekjen PBB sekaligus ketua Komite Rakhine).

Dari empat itu, satu-dua-tiga kewenangan penuh negara tersebut. Saat kita bicara nomor empat plus satu, Indonesia dan negara dunia lainnya bisa membantu, yakni soal akses bantuan kemanusiaan dan implementasi laporan Kofi Annan.

Kita diskusi di situ, mengenai akses kemanusiaan waktu itu sudah disebutkan bahwa Myanmar terbuka untuk bantuan kemanusiaan. Kemudian akan dipimpin pemerintah, kemudian lembaga kemanusiaan bersama ICRC (Komite Palang Merah Internasional).

Beliau juga menunjukkan, ada beberapa negara yang menunjukkan komitmen. Di situ kemudian saya menyampaikan mengenai masalah ASEAN. Saya bilang, “Apakah ASEAN diberikan tempat?”. Dia mengatakan, “Iya”, dan saya mengatakan “Oke, saya akan memulai konsultasi dengan rekan-rekan di ASEAN.” Dan tentunya, negara yang pertama saya hubungi, yaitu ketua ASEAN, Filipina, kemudian yang lainnya.

Yang kedua, kita mendalami aspek implementasi rekomendasi Kofi Annan. Karena kalau dari kita melihatnya, jika seluruh 17 elemen dan 88 rekomendasi dapat diimplementasikan, yang mana Pemerintah Myanmar sudah menyatakan komitmennya, maka Insya Allah dalam jangka panjang hal itu dapat membantu memperbaiki situasi di Rakhine State. Dan di sini peran internasional banyak bisa membantu. Dari pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, kemudian kebebasan bergerak, keadilan sosial, budaya, sampai ke hubungan antara Myanmar-Bangladesh dan hubungan Myanmar dengan kawasan. Sebenarnya itu paket yang lengkap. Kalau bisa diimplementasikan akan dapat membuat kehidupan di Rakhine State jadi lebih baik.

Progres setelah bertemu Aung San Suu Kyi di internal Myanmar bagaimana kira-kira?

(Terdiam sejenak)… Bagaimana ya saya ngomongnya, ya… Mungkin dari komunikasi saya dengan Daw Suu dan lain-lain. Saya menangkap mereka ingin melakukan sesuatu, cuman kok kita lihat… apa ya… harapan kita kan lebih cepat. Tapi ini kok belum. Misalnya soal bantuan saja. Saya Senin (11/9) bicara dengan penasihat keamanan (Myanmar) mengenai bantuan. Kemudian Selasanya, saya bicara dengan menteri muda luar negerinya soal bantuan lagi. Selasa siang pukul 14.00 (WIB), saya panggil dubes barunya soal bantuan lagi. Sekarang alhamdulillah sudah dapat.

Jadi memang, ya, diplomasi ini bukan cash and carry, terutama dalam situasi seperti ini, ikhlas dan sabar. Tapi kita harus maju terus. Jangan sampai kita kehilangan harapan.

Tantangan terbesar Indonesia sebagai mediator apa?

Tantangannya adalah bagaimana kita bersama-sama masyarakat internasional bisa menghentikan krisis kemanusiaan dulu deh. Mudah-mudahan dengan bantuan mulai masuk, dari aspek kemanusiaannya sudah mulai terbantu sedikit.

Kalau yang penyelesaian jangka panjang, akan cukup lama. Kita bisa menyelesaikan ini kalau tenang dulu. Kalau kondisinya masih seperti ini, kita nggak akan bisa. Bahkan, memulai pun kita nggak akan bisa.

Ada kemungkinan rekomendasi soal pemberian kewarganegaraan terhadap etnis Rohingya dipenuhi Myanmar?

Isu mengenai kewarganegaraan adalah salah satu elemen dalam laporan Annan. Itu termasuk yang paling sulit, dari tangkapan saya. Tapi, dari Pemerintah Myanmar berkomitmen untuk menerima dan mengimplementasikan (rekomendasi Annan). Jadi sekali lagi masih ada harapan.

Sebagian pihak menilai bahwa konflik kali ini bisa jadi titik patah konflik di Rakhine. Ada ketakutan bahwa konflik ini akan melebar keluar dari Myanmar. Bagaimana menurut Anda?

Saya berharap jangan sampai itu dibawa ke arah tersebut. Maka dari itu, saya berusaha seoptimal mungkin, mencegah dampak ke dalam. Buat saya, satu nyawa manusia itu harganya sudah tinggi. Kita nggak bisa membiarkan jatuh korban yang lebih banyak.

Ada pihak-pihak yang memilih untuk teriak-teriak saja. Jadi, menghujat for the sake of menghujat. Kalau kita, kalau orang Jawa bilang, “cangcut taliwandha”. Artinya menyingsingkan terus melayu (berlari--RED)… werrr.... Pokonya lari dulu supaya bisa berkomunikasi dengan mereka.

Perkara perkembangannya lambat, itu bolanya ada di dia (Myanmar). Tapi dia harus tahu bahwa kita concern, kita tidak bisa melihat itu terjadi terus. Jadi pada saat bersamaan kita melakukan banyak sekali upaya. Bicara dengan Myanmar, dengan Bangladesh, dengan komunitas internasional. Siapa tahu dengan banyak pihak yang terlibat, banyak pihak yang menyampaikan pesan ke Myanmar, masalahnya cepat selesai.

Belakangan tekanan terhadap Myanmar dari lembaga-lembaga internasional, seperti Dewan Keamanan PBB dan Dewan HAM PBB mengemuka. Bagaimana dampak dari tekanan-tekanan tersebut?

Jadi, tekanan itu ada dari DK PBB dan dari mana-mana. Tapi, pada waktu yang sama ada harapan dunia juga. Berdasarkan sejarah, mereka paham bahwa hingga batas-batas tertentu tekanan itu tidak akan mengubah apa-apa.

Dan mereka (Myanmar) itu sudah biasa ditekan. Sudah biasa diisolasi, ya kan? Jadi mereka (komunitas internasional) menekan, tapi pada saat yang sama punya juga pandangan bahwa seseorang harus mendekati Myanmar. Oleh karena itu, mereka melimpahkan semua ke Indonesia. Jadi saya ditarik ke sana, ditarik ke sini (tertawa).

Pokoknya, janji saya, selama kita bisa berkontribusi kita akan melakukan hal itu. Apalagi buat saya karena ini masalah manusia.

Anda punya bayangan terkait akhir krisis ini? Apakah kita hanya bertumpu pada 4+1 dan rekomendasi Kofi Annan?

Kalau kita baca laporan Kofi Annan dan bisa diimplementasikan, itu sudah bisa jadi game changer situasi di sana. Jadi kalau saya mengusulkan 4+1, empatnya itu semacam tombol reset, dipencet baru kembali normal dulu, tenang dulu, baru jangka panjangnya di rekomendasi Annan. Tapi pada akhirnya, ini semuanya terserah Myanmar.

Cina sebagai pemilik hak veto di DK PBB belakangan mendukung tindakan militer Myanmar di Rakhine. Ada pembicaraan dengan Cina?

Saya akan segera kontak dengan Tiongkok. Kemarin saya juga mulai kontak dengan India (India juga mendukung Myanmar terkait operasi militer di Rakhine–RED). Dengan Eropa kita kontak semua, dengan Australia, dengan Turki.

Dengan Tiongkok, saya akan segera kontak. Kalaupun tidak di PBB akan saya hubungi. Jadi sekarang kita juga melihat geopolitiknya jadi kita coba engage semua.

Dengan India, mereka mengatakan, “Dari pada bicara di telepon lebih baik kita bicara di New York.” Karena di New York itu menteri luar negeri seluruh dunia nanti bertemu semua.

Kita melihat energi positif masyarakat Indonesia untuk membantu ini luas sekali. Kira-kira bagaimana masyarakat bisa membantu?

Pertama begini, saya sangat senang melihat antusiasme masyarakat, njeh. Jadi memang masyarakat itu tersentuh hatinya melihat penderitaan para pengungsi kemudian membantu. Pertanyaan selanjutnya bagimana menyalurkan ini? Nah mau tidak mau kita harus bicara dengan Pemerintah Myanmar.

Yang jelas Kemlu membuka komunikasi seluas mungkin dengan pihak mana pun, baik yang hendak membantu maupun menanyakan kondisinya seperti apa. Kita terus mendekati masyarakat, kita juga terbuka untuk dikritik, tapi masyarakat juga harus tahu bahwa kami sedang melakukan sesuatu. Dan nggak banyak orang yang bisa berlari secepat kita.

Anda saat ini jadi ujung tombak isu ini. Bukan hanya dalam skala ASEAN, melainkan juga secara global. Banyak orang menggantungkan harapan pada Bu Retno. Bagaimana rasanya?

Dibilangin ikhlas, kok (tertawa)… Ikhlas tapi tiba-tiba panas tinggi (tertawa kembali)… Ya kurang tidur tapi buat saya kalau sudah begini, ini serius, ikhlas. Dibawa niat untuk membantu. Enak kalau sudah begitu. n

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement