Jumat 22 Sep 2017 14:36 WIB

KPK: Pengangkatan Penyidik Bukan Objek Praperadilan

Peserta aksi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi membawa poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto ketika melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9).
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Peserta aksi yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi membawa poster bergambar Ketua DPR Setya Novanto ketika melakukan aksi di depan Gedung KPK, Jakarta, Kamis (14/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi menyatakan bahwa sah atau tidak sahnya pengangkatan penyelidik dan penyidik bukan objek dan kewenangan hakim praperadilan. Dia mengatakan hal tersebut menanggapi dalil permohonan praperadilan Setya Novanto yang mempermasalahkan status ganda penyelidik atau penyidik di KPK.

"Berdasarkan kewenangan praperadilan yang secara limitatif diatur, dalil-dalil pemohon bukan lingkup pemeriksaan lembaga praperadilan karena sah tidak sahnya pengangkatan penyelidik dan penyidik bukan objek dan kewenangan hakim praperadilan tetapi objek dan kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara," kata Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/9).

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan jawaban dari pihak termohon dalam hal ini KPK. Karena itu, dia mengatakan, pengujian terhadap keabsahan keputusan pimpinan KPK Nomor: KEP-572/01-54/10/2012 merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi lingkup kewenangan dan kompetensi absolut dari Pengadilan Tata Usaha Negara yang memiliki kewenangan untuk memeriksa, mengadili dan memutuskan sengketa tata usaha negara.

"Oleh karena itu permohonan sudah sepatutnya ditolak atau setidaknya tidak dapat diterima," kata Setiadi.

Setiadi menjelaskan lembaga praperadilan merupakan sarana pengawasan horizontal yang terbatas pada pengawasan. "Lingkup kewenangan praperadilan dalam Undang-Undang yakni KUHAP adalah memeriksa dan memutus dah tidak sahnya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, dan pergantian ganti rugi," kata dia. 

Sebelumnya, dalam dalil permohonan Setya Novanto menyebutkan bahwa penyelidikan dan penyidikan oleh pemohon adalah tidak sah dan cacat hukum karena penyelidik dan penyidik dalam perkara pemohon bukan penyidik dan penyelidik yang ditunjuk sebagaimana Undang-Undang karena tidak berasal dari penyelidik atau penyidik Polri atau Kejaksaan atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang berwenang.

Kemudian, dalam dalil permohonan itu juga menyebutkan bahwa kedudukan sebelas penyidik Polri yang diangkat menjadi pegawai tetap KPK tentang pegawai negeri yang diangkat menjadi pegawai tetap KPK bertentangan dengan kriteria penyidik yang ditentukan dalam Undang-Undang KPK karena status ganda sebagai pegawai tetap KPK dan anggota Polri yang masih aktif. 

KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-El) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.

Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-e pada Kemendagri.

Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement