REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Biro Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Setiadi menyatakan bahwa dalil-dalil permohonan yang diajukan Ketua DPR RI Setya Novanto telah masuk ke dalam materi pokok perkara. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan melalui hakim tunggal Cepi Iskandar menggelar sidang lanjutan praperadilan Setya Novanto dengan agenda pembacaan jawaban dari pihak termohon dalam hal ini KPK.
"Seharusnya disampaikan pada pemeriksaan di persidangan perkara pokok pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai hak pemohon untuk melakukan pembelaan atau pledoi," kata Setiadi di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jumat (22/9).
Adapun dalil yang dimaksud telah masuk pokok perkara antara lain tuduhan termohon terhadap pemohon bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor. Kemudian, tuduhan termohon yang menyatakan berdasarkan Pasal 3 UU Tipikor termohon harus membuktikan adanya unsur "menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau saran yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan".
Menurut Setiadi, pemaknaan hukum yang keluar dari ruang lingkup praperadilan dengan memasukkan pengujian alat bukti yang dihimpun oleh penyidik untuk diuji sejatinya telah mengambil alih tugas penuntut umum sebagaimana diatur dalam Pasal 138 KUHAP, yang antara lain bertugas meneliti hasil penyidikan.
Selanjutnya, mengingat penuntut umum berwenang untuk melakukan penelitian hasil penyidikan ini, maka dalam hal penuntut umum berpendapat sudah cukup syarat formil maupun materiil, maka penuntut umum akan membuat surat dakwaan dan segera melimpahkan ke pengadilan.
Namun, ketika penuntut umum berpendapat bahwa hasil penyidikan belum lengkap, maka penuntut umum akan memberi petunjuk kepada penyidik untuk melengkapi berkas perkara. Bahkan dalam hal penyidik sudah menyatakan maksimal, sementara penuntut umum berpendapat bahwa berkas perkara belum lengkap, maka penuntut umum dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI.
Oleh karena itu, kata Setiadi, bahwa ruang lingkup praperadilan tidak boleh memasuki ruang lingkup pokok perkara karena untuk meneliti tentang kecukupan alat bukti yang merupakan ruang lingkup pokok perkara adalah tugas dari penuntut umum.
"Apabila praperadilan sudah menguji tentang alat bukti, maka dengan sendirinya telah mengambil alih kewenangan penuntut umum dalam bekerjanya sistem peradilan pidana di Indonesia," kata dia.
Demikian juga, kata dia, ketika praperadilan telah memasuki ruang lingkup pengujian kompetensi absolut, maka hal itu akan membawa praperadilan untuk memasuki ruang lingkup pokok perkara.
"Karena dengan sendirinya praperadilan akan masuk pada pengujian tentang hasil penyidikan, untuk selanjutnya menguji kesesuaian unsur delik dengan alat bukti yang dihimpun penyidik, termasuk di dalamnya kompetensi absolut. Padahal, kesemuanya itu bukan ruang lingkup praperadilan tetapi sudah memasuki ruang lingkup pokok perkara," ucap Setiadi.
KPK telah menetapkan Ketua DPR Setya Novanto sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pengadaan paket penerapan KTP berbasis nomor induk kependudukan secara nasional (KTP-el) tahun 2011-2012 pada Kemendagri pada 17 Juli 2017.
Setya Novanto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena kedudukannya atau jabatannya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara sekurang-kurangnya Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan sekitar Rp 5,9 triliun dalam paket pengadaan KTP-el pada Kemendagri.
Setnov disangka melanggar pasal 2 ayat (1) atas pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Korupsi jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.