Jumat 29 Sep 2017 07:53 WIB

ICW Sebut Ada 6 Kejanggalan dalam Praperadilan Setya Novanto

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).
Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Hakim tunggal Cepi Iskandar memimpin sidang praperadilan Setya Novanto terhadap KPK terkait status tersangka kasus dugaan korupsi KTP Elektronik di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Senin (25/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Putusan praperadilan penetapan tersangka Setya Novanto (Setya Novanto) akan dikeluarkan Jumat (29/9). Selama proses persidangan praperadilan yang dimulai pada (12/9) itu, KPK sudah dengan kooperatif menghadirkan 193 bukti untuk menguatkan dasar penetapan Setnov sebagai tersangka, serta ahli-ahli baik di bidang hukum maupun teknologi informasi dalam persidangan.

"Namun publik harus mengantisipasi kemungkinan besar dikabulkannya permohonan tersebut oleh Hakim Tunggal, Cepi Iskandar," kata Peneliti Indonesia Corruption Watch Lalola Easter dalam keterangan pers yang diterima, Jumat (29/9).

Hal itu bukan tanpa dasar, karena berdasarkan pemantauan yang dilakukan oleh ICW, paling tidak ada enam kejanggalan dari seluruh proses persidangan yang berlangsung selama satu pekan ini.

Pertama, ketika hakim menolak memutar rekaman bukti keterlibatan Setonov dalam korupsi KTP-elektronik (KTP-el), pada sidang praperadilan Rabu (27/9) lalu, hakim menolak memutar rekaman KPK sebagai bukti keterlibatan SN dalam korupsi KTP-el. Penolakan ini sangat janggal, karena hakim berpandangan bahwa pemutaran rekaman tersebut sudah masuk pokok perkara. Padahal rekaman pembicaraan tersebut adalah salah satu bukti yang menunjukkan keterlibatan SN dalam perkara korupsi KTP-el.

Dengan dasar rekaman tersebut, Lalola menyatakan, KPK menetapkannya sebagai salah satu bukti yang dibarengi dengan 193 bukti lainnya untuk menetapkan SN sebagai tersangka. Di sisi lain, Hakim Cepi Iskandar justru membuka ruang pengujian materi perkara dengan menolak eksepsi KPK terkait dengan pembuktian keterpenuhan unsur pada Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor, yang menjadi salah satu dalil permohonan praperadilan SN. Padahal, pembuktian keterpenuhan unsur Pasal 2 ayat (1) UU Tipikor sudah masuk pada pembuktian pokok perkara, dan tidak sepatutnya disidangkan lewat mekanisme praperadilan.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement