REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia Kaka Suminta menyatakan PKPU Nomor 11 tahun 2107 tentang Pendaftaran, Verifikasi, dan Penetapan Parpol Peserta Pemilu 2017, memiliki cacat hukum.
"Ini tidak menggambarkan sebagai peraturan pelaksanaan pendaftaran parpol sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 173, UU Nomor 7 tahun 2017. Khususnya dalam verifikasi keanggotaan pada tingkat kabupaten/kota, karena di dalamnya mengandung ketidakutuhan pengaturan dan terkesan diskriminatif," kata Kaka dalam keterangan pers, Ahad (8/10).
Selain itu, menurut Kaka, tidak ada Peraturan Bawaslu yang mengatur tentang pengawasan Bawaslu terhadap pelaksanaan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan parpol peserta Pemilu 2017, yang sedang dilaksanakan oleh KPU, sejak awal tahapapan kegiatan.
"Ketentuan tentang pendaftaran dengan alat yang disebut oleh KPU sebagai sistem informasi partai politik (sipol), merupakan sebuah sistem yang tidak dikenal dalam UU No 7 tahun 2017. Dan masih ada pihak yang melakukan gugatan judicial review di MK menandakan masih adanya kemungkinan perubahan peratrutan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam UU 7/2017," kata Kaka.
Pelaksanaan verifikasi Parpol, ujar Kaka, khususnya dalam verifikasi keanggotaan, sebagaimana diatur dalam UU 8/2012 tentang Pemilihan DPR, DPD dan DPRD, dalam pelaksanaannya berbeda dengan apa yang tertuang dalam PKPU 11 tahun 2017.
Karena itu, Kaka mengatakan, penyelenggara pemilu baik dalam hal ini KPU dan Bawaslu tidak siap untuk melaksanakan pendaftaran, verifikasi, dan penetapan parpol peserta Pemilu 2014, dengan memperhatikan temuannya. "Ketidak jelasan keberadaan sipol merupakan cacat hukum PKPU 11 tahun 2017 yang potensial menimbulkan ketidakpastian hukum dan keresahan di masyarakat," kata dia.
KIPP berharap pemerintah meninjau kembali PKPU 11 tahun 2017 tersebut serta mengevaluasi kinerja Bawaslu, yang tidak mempersiapkan peraturan sebagaimana diamanatkan dalam UU Nomor 7/2017.