Kamis 12 Oct 2017 22:53 WIB

Permintaan MK Soal Pajak Alat Berat Diatur Ulang Diapresiasi

Ilustrasi alat berat
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Ilustrasi alat berat

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan terkait ketentuan pajak alat-alat berat disambut baik para pemohon. “Kami menyambut baik Putusan MK yang mengabulkan permohonan pemohon untuk seluruhnya,” kata Ali Nurdin, kuasa hukum sejumlah pemohon dalam Perkara Nomor15/PUU-XV/2017 tentang Pengujian UU No 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) menanggapi putusan MK.

Para pemohon dalam perkara itu adalah PT Tunas Jaya Pratama yang berkantor di Jakarta, PT Mappasindo yang berasal dari Provinsi Papua, dan PT Gunungbayan Pratamacoal dari Samarinda. Perusahaan tersebut bergerak di berbagai sektor pertambangan, konstruksi dan lain-lain.

MK meminta DPR dan pemerintah mengatur ulang regulasi terkait ketentuan pajak alat-alat berat, seperti bulldozer, excavator, tractor, dan dump truck. Dalam putusan yang dibacakan, Selasa (10/10), MK memutuskan pengecualian bagi alat-alat berat tersebut sebagai objek yang dikenakan pajak. Ketentuan pajak bagi alat berat itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU 28/2009).

MK dalam amar putusannya menyatakan mengabulkan Permohonan Pemohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kemudian Mahkamah juga menyatakan bahwa Pasal 1 angka 13 sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang dalam operasinya menggunakan roda dan motor dan tidak melekat secara permanen”, Pasal 5 ayat (2) sepanjang frasa “termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar”; Pasal 6 ayat (4), dan Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam keterangan tertulisnya, Ali Nurdin menyatakan dengan adanya putusan MK tersebut maka alat berat bukan objek kendaraan bermotor. Karena bukan objek Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB), sehingga para pemilik alat berat tidak bisa ditagihkan PKB dan BBNKB.

Ia berkata, putusan Mahkamah Konstitusi tersebut merupakan buah perjuangan panjang sejak keluarnya UU No. 34 Tahun 2000 tentang PDRD yang menempatkan Alat Berat sebagai Kendaraan Bermotor. Padahal sebelumnya dengan UU No. 18 Tahun 1997 Alat Berat tidak termasuk kendaraan bermotor, yang dilakukan para pemilik dan pengguna alat berat yang dimotori Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (HINABI), Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Perhimpunan Agen Tunggal Alat Berat Indonesia (PAABI), Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI), Indonesia Mining Association (IMA), dan Asosiasi Pengusaha dan Pemilik Alat Konstruksi Indonesia (APPAKSI).

"Dengan keluarnya UU PDRD No. 34 tahun 2000 yang diubah dengan UU 28 Tahun 2009, alat berat ditetapkan sebagai bagian dari kendaraan bermotor sehingga menjadi Objek PKB dan BBNKB, dan para pemilik Alat Berat harus membayar PKB dan BBNKB walaupun tidak setuju karena alat berat bukan kendaraan bermotor," ucap dia.

Ali berkata, berbagai masukan dan keberatan telah disampaikan Aspindo kepada pemerintah, jika alat berat tidak bisa dikelompokkan sebagai kendaraan bermotor, sehingga tidak bisa dikenakan PKB dan BBNKB. Beberapa kementerian sektoral yang berkaitan dengan alat berat seperti Kementerian Pekerjaan Umum, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Perindustrian dan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) telah menyatakan alat berat bukan kendaraan bermotor, sehingga tidak bisa dikenakan PKB dan BBNKB. "Akan tetapi pemerintah tidak berani untuk merevisi UU PDRD," ucap dia.

Pada 2012 beberapa perusahaan yang memiliki alat-alat berat seperti PT Pamapersada Nusantara, dkk telah mengajukan Judicial Review UU PDRD ke Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 1/PUU-X/2012. "Tetapi gugatan tersebut ditolak MK dengan alasanalat berat merupakan bagian dari kendaraan bermotor sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 47 ayat 2 huruf e bagian c UU No. 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ)," kata Ali yang juga menjadi kuasa hukum Pemohon bersama-sama Adnan Buyung Nasution. Pemohon dalam perkara tersebut adalah PT Bukit Makmur Mandiri Utama, PT Pamapersada Nusantara, PT Swa Kelola Sukses, PT Ricobana Abadi, PT Nipindo Prima Primatama, PT Lobunta Kencana Raya, PT Uniteda Arkado.

Menyikapi putusan MK tersebut, Ali Nurdin mengusulkan kepada Asosiasi Pemilik Alat Berat untuk melakukan uji materil UU LLAJ yang menjadi dasar penolakan JR UU PDRD, dan usul tersebut diterima. Sehingga pada 2015 Ali Nurdin menjadi kuasa hukum Pemohon PT Tunas Jaya Pratama, PT Multi Prima Universal, dan PT Marga Maju Mapan dalam Perkara Nomor 3/PUU-XIII/2015 mengenai Pengujian Penjelasan Pasal 47 ayat 2 huruf e bagian c UU No. 29 Tahun 2009 tentang LLAJ. Pada 31 Maret 2016, MK mengabulkan Permohonan Pemohon untuk seluruhnya dengan menyatakan Penjelasan Pasal 47 ayat 2 huruf e bagian c UU LLAJ bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Setelah keluarnya Putusan MK No. 3/PUU-XIII/2015, pada Agustus 2016 Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri dalam suratnya kepada gubernur se Indonesia menyatakan terhadap alat-alat berat masih tetap bisa dikenakan PKB dan BBNKB karena ketentuan dalam UU PDRD yang mengaturnya masih ada dan belum dicabut, sesuai dengan Putusan MK No. 1/PUU-X/2012 yang menolak gugatan Pemohon. Sehingga terdapat beberapa Pemerintah Daerah yang tetap menagih PKB dan BBNKB terhadap perusahan yang memiliki Alat Berat.

Menurut Ali Nurdin, sikap Pemerintah tersebut tidak dapat dibenarkan karena Putusan MK No. 3/PUU-XIII/2015 bersifat final dan mengikat atau erga omnes artinya mengikat secara umum tidak saja terhadap para pihak yang berperkara, akan tetapi juga berlaku bagi peraturan perundang-undangan lainnya, termasuk undang-undang. Ia berkata, putusan MK pada dasarnya melahirkan norma hukum yang setara dengan undang-undang, sehingga dengan adanya Putusan MK No. 3/PUU-XIII/2015 yang memutuskan alat berat bukan kendaraan bermotor, maka norma lain yang bertentangan dengan putusan dimaksud harus batal demi hukum termasuk pengertian kendaraan bermotor dan penarikan PKB dan BBNKB dalam UU PDRD.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo), Cahjono Imawan menyatakan jika pemberlakuan pajak kendaraan bermotor pada alat berat bermula dengan disahkannya UU No 34 Tahun 2000 tentang Pendapatan Daerah dan Redistribusi Daerah (PDRD). "UU 34/2000 dibuat tanpa adanya partisipasi dari pengusaha yang menggunakan alat berat," kata dia.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement