Sabtu 14 Oct 2017 08:53 WIB

Fahri: Densus-KPK Tak Tumpang-tindih

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Elba Damhuri
Penyidik KPK menunjukan barang bukti hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (7/10).
Foto: Republika/Prayogi
Penyidik KPK menunjukan barang bukti hasil Operasi Tangkap Tangan (OTT) di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (7/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menegaskan, Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi (Densus Tipikor) Polri tidak akan tumpang-tindih dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Sebab, Densus Tipikor masih merupakan unit dalam Polri. Dasar kewenangan Densus sudah jelas diatur dalam UU Kepolisian.

"Densus tipikor itu bukan merupakan suatu institusi yang keluar dari fungsi yang ada di undang-undang kepolisian, KUHAP, dan KUHP," tutur dia di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Jumat (13/10).

Fahri menambahkan, Densus Tipikor tidak memiliki ekstensi kewenangan. Wewenang tipikor Densus bentukan Polri ini tetap sebagai institusi Polri yang diatur dalam UU Kepolisian, KUHP, dan KUHAP. Densus Tipikor tidak bisa menjadi seperti KPK yang merupakan institusi transisional. Induk Densus Tipikor Polri merupakan institusi permanen.

Menurut Fahri, pembentukan Densus Tipikor harus diapresiasi. Upaya ini merupakan bukti keseriusan Polri untuk memerangi kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Hal yang sama dilakukan Polri untuk memerangi narkoba dan teroris dengan membentuk badan khusus, seperti Badan Narkotika Nasional (BNN) dan Densus 88 untuk kasus terorisme. Namun, kata Fahri, Densus Tipikor belum memiliki kewenangan ekstensi seperti BNN yang memiliki dasar gerak pada UU Psikotropika.

"Kalau narkoba BNN bekerja dengan UU Psikotropika, ada ekstensi kewenangan juga di sana, misalnya kontrol delivery, polisi bisa berpura-pura sebagai pengguna narkoba, penjual narkoba, itu ada dalam UU Psikotropika," kata dia menjelaskan.

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai, kehadiran Densus Tipikor justru dapat membantu kinerja pemberantasan korupsi di Indonesia. Menurut Laode, pembentukan Densus Tipikor akan membantu KPK dalam menangani korupsi.

"KPK mendukung soal Densus Tipikor itu dan mudah-mudahan mulai makin banyak menangani korupsi di Indonesia, akan jadi tertangani dengan baik," ujar Laode di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (13/10).

Syarif menambahkan, Densus Tipikor bukan kompetitor KPK. Densus Tipikor justru dinilai membantu KPK agar fokus pada kasus-kasus besar. Terlebih, Densus akan bergerak membantu memberantas kasus korupsi di daerah hingga tingkat desa. Di UU KPK, kewenangan KPK sudah jelas menangani korupsi yang dilakukan penyelenggara negara dengan nilai di atas Rp 1 miliar.

“Kalau yang kecil-kecil itu walaupun kita dapat informasinya, kami serahkan ke Polri. Mudah-mudahan, khususnya ke Polri ini, yang densus ini yang masif di mana-mana yang kecil bisa tertangani dengan baik," tutur Syarif.

Kerja sama

Jaksa Agung HM Prasetyo juga menegaskan, tidak akan ada tumpang-tindih antara Densus Tipikor dan Kejaksaan Agung dalam menangani kasus korupsi. Kalaupun akan terjadi perebutan terhadap suatu kasus korupsi, menurut Prasetya, hal itu justru bagus untuk pemberantasan korupsi. Sebab, antara Densus Tipikor dan Kejaksaan Agung serta KPK dapat saling memperkuat dan saling mengisi.

Prasetyo menambahkan, dalam upaya penegakan hukum, bila terdapat beberapa institusi dengan tujuan sama, hasil yang didapat justru akan semakin baik. Semua institusi harus saling menguatkan satu sama lain. "Kita untuk memperkuat ini bukan hanya Densus Tipikor, tapi KPK juga," ujar dia.

Prasetyo menolak permintaan Kapolri untuk menjadi satu atap antara Kejaksaan Agung dan Densus Tipikor. Menurutnya, tidak ada aturan sebagai dasar Kejaksaan Agung dapat satu atap dengan Densus Tipikor. "Kalau KPK iya ada UU mereka yang mengatakan penuntut umumnya itu jaksa, kita ke sana. Kalau densus ada tidak aturannya itu," kata dia.

Dalam penegakan hukum, lanjut Prasetyo, sebaiknya tidak melanggar peraturan dan asas yang telah ada. Namun, jika memang ada UU yang mengatur, Jaksa Agung tidak keberatan mengirim jaksanya satu atap dengan Densus Tipikor. Selama ini, hasil penyidikan dari penyidik Polri diserahkan pada Jaksa Penuntut Umum.

Prasetyo mengatakan, pada saat prapenuntutan, penelitian berkas perkaranya sudah ada aturan yang mengatur. Keputusan pengembalian atau penerusan berkas ditentukan oleh Kejaksaan sendiri.

"Kalau harus dikembalikan, itu karena memang belum lengkap persyaratan formal dan materiilnya, bukan berarti kita sengaja membolakbalikkan perkara, tidak ada itu, lebih cepat lebih baik biaya kami terbatas," ujar Prasetyo menjelaskan.

Namun, Kapolri Jenderal Tito Karnavian masih berharap Kejaksaan Agung dapat berintegrasi dengan Densus Tipikor agar penuntasan kasus lebih cepat. Kalau integrasi ini tidak bisa dilakukan, kata Tito, Polri meminta agar ada tim khusus dari Kejakgung yang berinteraksi langsung dengan Densus Tipikor.

"Kalau tidak satu atap tidak masalah, tapi ada mungkin dibentuk tim khusus yang berkontak langsung berinteraksi langsung sejak langkah penyelidikan yang awal," ujar Tito.

Densus Tipikor akan bekerja seperti Densus 88. Penanganan tipikor oleh kepolisian tersentralisasi oleh Detasemen Khusus dengan satgas kewilayahan di provinsi-provinsi. Tito mencontohkan, pada Densus 88, terdapat Satgas khusus penuntutan terorisme. Mereka sudah bermitra dengan Densus 88 sehingga sejak dini anggota Densus 88 sudah paham informasi penangkapan.

Tito pun berharap, dari Kejakgung membentuk satu tim khusus tanpa mengurangi kewenangan kejaksaan untuk penyidikan penuntutan kasus-kasus yang ditangani Densus Tipikor.

(Tulisan ini diolah oleh Agus Raharjo)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement