REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Sekretaris Fraksi Partai Golkar Ade Komarudin (Akom) mengakui pernah melaporkan desas-desus mengenai Setya Novanto kepada Ketua Umum Golkar saat ibu, Aburizal Bakrie alias Ical.
"Saya mengingatkan kepada ketua umum Partai, Pak Ical. Saya sampaikan bising di media, bisik-bisik, tolong diingatkan Pak Ketua agar Pak Novanto tidak terlibat dalam pekerjaan itu karena ada kekhawatiran saya. Saya saat itu kebetulan sekretaris fraksi dan beliau juga bendahara partai, posisi itu krusial, kalau partai menerima uang tidak halal maka partai bisa terlibat," kata Akom saat bersaksi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (16/10).
Akom menjadi saksi untuk terdakwa pengusaha Andi Agustinus alias Andi Narogong yang didakwa mendapatkan keuntungan 1,499 juta dolar AS dan Rp 1 miliar dalam proyek pengadaan KTP-Elektronik (KTP-el) yang seluruhnya merugikan keuangan negara senilai Rp 2,3 triliun.
"Memang berita tentang apa, sampai harus mengingatkan," tanya ketua majelis hakim Jhon Halasan Butarbutar. "Iya tolong diingatkan agar tidak terlibat pekerjaan itu, soal KTP-el," jawab Akom. "Akhirnya diingatkan atau tidak," tanya hakim Jhon.
"Akhirnya benar diingatkan dan Pak Novanto sering berkoordinasi dengan saya mengenai banyak hal karena ketua dan sekretaris harus banyak bekerja sama dalam banyak hal. Lalu Pak Novanto mengatakan 'sudah saya sampaikan ke Pak Ical tidak apa-apa' ya sudah alhamdulilah," jawab Akom.
"Ada pertemuan di rumah ketua partai," tanya hakim Jhon.
"Tidak itu di rumah saya. Kami koordinasi malam hari di rumah saya. Banyak agenda di rumah saya, lalu dia mengatakan 'Aman' ya sudah alhamdulilah. Pertemuan itu kalau besoknya ada agenda penting partai yang harus diamankan jadi kami koordinasi," jawab Akom.
Pertemuan itu terjadi di rumahnya di Jalan Mendawai 1, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada sekitar tahun 2014. "Apa pertemuannya berdua saja?" tanya hakim Jhon. "Iya, kan beliau ketua fraksi, dan saya sekretaris. Dia (Setnov) menyampaikan ke ketua umum Pak Ketua mengamankan 'aman beh'. Saya 'positif thingking' saja karena kepentingan saya hanya untuk partai karena kaitannya beliau bendahara umum kan bisa partai diancam dibubarkan kalau ada aliran dana (ke partai). Tapi disampaikan 'aman' berarti secara peraturan yang berlaku aman," jawab Akom.
"Tapi Irman Dirjen Dukcapil juga pernah datang ke ruang anda?" tanya hakim Jhon.
"Pernah, waktu itu saya ditelepon dari rumah katanya ada tamu ketika saya sedang di luar. Akhirnya saya temui beliau. Beliau mengatakan kegelisihannya 'Saya bekerja baik untuk negara ini kok saya disorot-sorot', begitu katanya Pak Irman kemudian saya sampaikan 'Jangan khawatir Pak Irman sepanjang sesuai peraturan yang berlaku tidak usah takut, kita akan bersama-samalah," jawab Akom.
"Setnov datang ke ruamh anda sedikit banyak terkait KTP-el, Irman juga datang bicara tentang KTP-el, kok bisa titik temunya ke bapak?" tanya hakim Jhon.
"Pak irman pernah bertemu dengan Pak Mendagri, suka ketemu 2-3 kali secara resmi apun tidak resmi jadi saya komunikasi dengan beliau wajar karena semua menteri berkomunikasi, kemudian dengan pak irman komunikasi secara umum tidak khusus bicara, semacam silaturahmi," jawab Akom.
Akom pun membantah pernah menerima uang terkait KTP-el. "Alhamdulilah tidak terima," ungkap Akom.
Dalam putusan tingkat pertama mantan Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kemendagri Irman dan mantan Direktur Pengelolaan Informasi Administrasi Kependudukan (PIAK) Kemendagri Sugiharto, Akom disebut mendapatkan 100 ribu dolar AS.
Uang diserahkan ke Ade Komarudin melalui ketua pengadaan KTP-el Drajat Wisnu Setiawan. Uang itu berasal dari seseorang yang mengantarkan uang ke ruangan Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri saat itu Diah Angraeni.