REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penggunaan kata pribumi dalam pidato Gubernur Terpilih DKI Jkaarta Anies Baswedan mendadak dipersoalan. Publik bereaksi dengan beragam tafsiran akan makna pidato Anies.
Menurut Ketua Presidium Nasional Jaringan Islam Nusantara (JIN), Razikin Juraid, sebagian orang mempersoalkannya karena dinilai dapat memunculkan kembali konflik rasial yang hampir pecah saat berlangsungnya Pilgub DKI pada beberap waktu lalu. Pertanyaannya adalah apakah betul demikian pesan yang ingin disampaikan oleh Anies Baswedan?
"Dilihat dari keseluruhan Pidato Anies, pesannya sesungguhnya adalah Anies Baswedan bertekad mewujudkan keadilan bagi seluruh warga Jakarta terutama bagi warga miskin kota, buruh dan korban penggusuran selama kepemimpinan Basuki Tjahaya Purnama," kata dia dalam keterangannya, Selasa (17/10).
Hanya, dia menilai, ketidakcermatan Anies mengidentifikasi secara emansipatoris warga tersebut dengan kata pribumi kemudian menimbulkan pro kontra. Dia menilai, penggunaan kata pribumi dalam pidato Anies jika dimaksudkan untuk mengkonsolidasi kekuatan massa rakyat dan pesan perlawanan terhadap ketidakadilan, terlalu umum dan bias sehingga dapat menimbulkan perdebatan panjang soal sejarah dan kewargaan.
Sejatinya Anies dapat berpikir lebih tajam dan kreatif untuk menemukan formulasi yang tepat dalam mengidentfikasi struktur kelas massa rakyat yang dia perjuangkan. "Padahal dalam urban politik tersedia banyak term-term yang dapat digunakan mengidentifikasi kelas sosial masyarakat kota, seperti warga pinggiran, lower class dan banyak lagi yang lain," kata dia.
Menilik sejarah
Dulu, kaum inlander (budak, bau, bodoh, goblok) bahkan oleh pramoedya Ananta Toer, pribumi ini disebut tidak lebih dari seekor monyet. Dalam Bumi Manusia "Kowe kira, kalo sudah pake-pakean Eropa, bersama orang Eropa, bisa sedikit bicara Belanda lantas jadi Eropa..?? Tetap monyet! "
Pandangan tersebut yang mendasari praktik kekuasaan kolonial yang penuh kontradiktif. Di satu sisi, pribumi di posisikan sebagai makhluk lemah, rendah dan pemalas. Di sisi lain, pribumi di peras dalam perbudakan. Bagaimana mungkin seorang dalam status budak di beri predikat lemah dan malas...?
Jean Breman, dalam bukunya Menjinakkan Sang Kuli: Politik Kolonial Pada Awal Abad 20. Mengutip sebuah laporan yamg di tulis pada 1919 sebagai berikut: "Dalam tatanan kolonial tenaga kerja selamanya terdiri dari orang timur yang sebagian rendah statusnya. Pengawasan berada ditangan orang-orang yang sadar akan superioritas rasialnya, dan mereka semua hidup dalam tradisi hubungan patriarkat".
Supordinasi dalam politik kewargaan kolonial itu kemudian dipatahkan oleh revolusi kemerdekaan. Pada masa revolusi konstruksi monyet inlander dilawan dengan konstruksi modern dengan keagenan politik. Soekarno menerjemahkan monyet inlander dengan beragam identitas, seperti istilah massa, kaum melarat, buruh, kaum marhaen. Istilah dirangkum dalam satu kata yakin Rakyat.
Istilah yang emansipatif lain dari monyet inlander adalah kaum Murba dari Tan Malaka, Kaum Proletar dan buruh tani dari gerakan komunis, rakyat terdidik dan Bumi Putra dari Hatta dan Sutan Syahrir.