REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi V DPR dari Fraksi Partai Gerindra Moh Nizar merespons rencana Presiden Joko Widodo yang hendak mengubah penggunaan dan skema penyaluran dana desa. Menurutnya, rencana mengubah desain agar menciptakan lapangan kerja tidak hanya menjadi wacana. Terlebih hanya dijadikan alat politik jelang Pemilu 2019 mendatang,
"Kami minta jangan sampai Pak Jokowi membajak dana desa. Alih-alih menciptakan lapangan kerja untuk rakyat. Justru kebijakan ini dijadikan alat politik mengingat dilakukan tahun 2018, tahun politik jelang Pilpres," ujar Nizar dalam keterangan tertulisnya yang diterima wartawan pada Kamis (19/10).
Menurut politikus Fraksi Partai Gerindra itu sejauh ini penggunaan dana desa belum maksimal. Sebab, bila disinkronkan dengan laju urbanisasi, dana desa belumlah bermanfaat sepenuhnya bagi masyarakat di desa.
Sebab daya yang dilansir Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil DKI Jakarta menyebutkan, setelah Lebaran 2017 pendatang baru ke Jakarta sebanyak 70.752 orang. Dibandingkan pendatang saat Lebaran 2016, tahun 2017 ini jumlahnya naik 2,89 persen atau 68.763 orang.
"UU Nomor 6/2014 tentang Desa yang sejatinya diharapkan dapat mendorong masyarakat desa agar dapat mengembangkan potensi ekonominya tidaklah efektif. Bagaimana pemerintah akan memberdayakan masyarakat di desa, jika masyarakat desa masih tetap saja pindah ke kota untuk mencari peruntungan nasib yang lebih baik," ungkapnya.
Padahal dana desa yang digelontorkan sudah sangat banyak. Pada tahun 2015, APBN mengalokasikan Rp 20,76 triliun. Berikutnya, pada 2016, naik menjadi Rp 46,9 triliun, lalu pada 2017 naik lagi menjadi Rp 60 triliun.
Dalam nota keuangan RAPBN Tahun 2018 yang dibacakan oleh Presiden Jokowi di DPR tanggal 16 Agustus 2017 lalu juga alokasi dana desa tidak mengalami kenaikan, tetap seperti tahun 2017 yakni Rp 60 Triliun.
"Jadi jangan muluk muluk berwacana untuk menciptakan lapangan pekerjaan dari dana desa. Memenuhi janjinya saja saat kampanye mengalokasikan per desa Rp 1,4 M, belum bisa," katanya.