REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rencana pembentukan Detasemen Khusus Tindak Pidana Korupsi nyatanya hingga kini masih menimbulkan perdebatan dari sejumlah pihak. Mengenai hal tersebut, Presiden dinilai dapat menjadi jawaban kekhawatiran tumpang tindih wewenang ini.
Anggota DPR RI Komisi III dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Nasir Djamil menilai, sikap presiden dapat menjadi titik kejelasan permasalahan tersebut. "Bolanya ada di Presiden," kata dia dalam sebuah diskusi di Jakarta Pusat, Sabtu (21/10).
Menurut Nasir, Presiden dapat menggunakan instrumennya, dalam hal ini Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk memperjelas mekanisme kerja Densus Tipikor. "Presiden punya asisten Kemenpan, tetapi saya tidak tahu apakah sudah ada pembicaraan dengan Kemenpan ini," tuturnya.
Senada dengan Nasir, Pengamat hukum pidana Umar Husein juga beranggapan, dalam hal ini presiden bisa menjadi titik cerah perdebatan ini. Umar menilai, perdebatan paling krusial yang terjadi terkait pembentukan Densus Tipikor ini berada di seputar pembagian tugas dan wewenang antar lembaga antirasuah yang telah ada.
Seperti diketahui, sudah dua lembaga yakni Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Satuan Tugas Khusus Penangganan dan Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi. Dengan adanya Densus Tipikor maka jumlahnya akan bertambah. "Jadi Presiden dong, yang mengatur pembagian tugas itu. Kalau Presiden bisa mengatur itu, ini mantap!" ucap Umar.
Presiden, lanjut Umar, berada di atas tiga instansi tersebut. Sehingga dia memiliki kewenangan lebih dalam mengatur permasalahan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan tersebut.