REPUBLIKA.CO.ID, DOHA -- Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Rex Tillerson mengakhiri kunjungan kerja ke Arab Saudi dan Qatar pada Ahad (22/10) waktu setempat atau Senin (23/10) WIB. Kunjungan yang diharapkan dapat menghadirkan solusi atas krisis di kawasan Teluk akibat blokade negara-negara pimpinan Arab Saudi terhadap Qatar menemui jalan buntu.
Dalam keterangan pers di Doha, ibu kota Qatar, Tillerson mengungkapkan telah melakukan pertemuan dengan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman, Sabtu (21/10) waktu setempat. Saat itu, dia meminta Pangeran Salman untuk memulai dialog demi mengakhiri krisis yang terjadi sejak 5 Juni 2017.
Akan tetapi, menurut Tillerson, tidak ada indikasi kuat bahwa Arab Saudi siap untuk berbicara dengan Qatar. "Jadi, kita tidak bisa memaksakan pembicaraan pada orang-orang yang belum siap berdialog," ujarnya, seperti dilansir Bloomberg, Senin (23/10).
Tillerson, yang juga bertemu dengan Emir Qatar Syekh Tamim bin Hamad al-Thani, kembali mengungkapkan kekhawatiran terkait dampak krisis terhadap stabilitas di Timur Tengah. Oleh karena itu, dia meminta Dewan Kerja Sama Teluk (the Gulf Cooperation Council/GCC) terus mendorong persatuan.
GCC merupakan sebuah blok yang mencakup Qatar, Bahrain, Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Kuwait, dan Oman. "Ini akan sangat efektif jika disatukan. Tidak ada satu pun dari kita yang dapat membiarkan perselisihan ini berlangsung lama," ujar Tillerson.
Sebelumnya, dalam sebuah wawancara pada 19 Oktober lalu, Tillerson pun telah menyampaikan hal serupa. Mantan bos Exxonmobil ini menilai krisis di kawasan Teluk merupakan tanggung jawab negara-negara yang dipimpin Arab Saudi dan beranggotakan Mesir, UEA, dan Bahrain.
Keempat negara tersebut berulang kali menolak berbicara dengan Qatar. Tillerson lantas meminta semua pihak untuk menahan diri dari retorika yang berpotensi membuat situasi memanas. Dia pun berpendapat bahwa kebuntuan ini merugikan kepentingan kawasan Teluk secara umum dan AS secara khusus.
Pada September lalu, Presiden AS Donald Trump mengaku bersedia menjadi mediator untuk menuntaskan krisis ini. Hanya saja, dia mengajukan syarat, yaitu dialog dilaksanakan di Gedung Putih.
Saat ditanya mengapa langkah Trump belum ada tindak lanjut, Tillerson memberikan alasan. "Tidak ada undangan ke Gedung Putih karena para pihak tidak siap untuk terlibat dalam pembicaraan. Namun, kita akan terus bekerja menuju dialog dan kesepakatan semua pihak," katanya.
Sebelumnya, pada Sabtu (21/10) waktu setempat, Tillerson berpartisipasi dalam pertemuan Komite Koordinasi Arab Saudi-Irak di Riyadh, ibu kota Arab Saudi. Turut hadir Raja Arab Saudi Salman bin Abdulaziz dan Perdana Menteri Irak Haider al-Abadi. Komite tersebut bertujuan untuk memperbaiki hubungan antara Arab Saudi dan Irak yang telah lama berseteru di kawasan Teluk.
Pada 5 Juni 2017, Arab Saudi, UEA, Mesir, dan Bahrain memutuskan hubungan diplomatik dengan Qatar. Langkah ini diikuti dengan blokade darat, udara, dan laut. Pemutusan hubungan diplomatik didasari tudingan Qatar membiayai terorisme dan memiliki kedekatan khusus dengan Iran, saingan Arab Saudi dan kawan-kawan di kawasan.
Qatar berulang kali membantah tuduhan yang dilayangkan. Qatar justru menuduh tetangganya di Teluk berusaha untuk menempatkan mereka di bawah perwalian. Eskalasi ini cenderung memiliki konsekuensi yang luas. Bukan hanya untuk Qatar dan warganya, melainkan juga di sekitar Timur Tengah.
Ketika itu, AS juga menyatakan akan mencoba meredakan ketegangan antara Qatar dan Arab Saudi. Menurut negara adidaya itu, krisis diplomatik yang terjadi dapat membahayakan kepentingan banyak pihak. Salah satunya adalah kepentingan militer dan diplomatik bagi Negeri Paman Sam. Selama ini, Qatar menjalin kerja sama dengan AS dalam banyak bidang, termasuk keamanan. Negara itu menjadi tuan rumah pangkalan udara terbesar AS di Timur Tengah yang tepatnya berlokasi di al-Udeid.
Kritikan Qatar
Menteri Luar Negeri Qatar Mohammed bin Abdulrahman mengkritik ketidaksiapan negara-negara yang dipimpin Arab Saudi untuk berdialog. Hal itu mengakibatkan krisis di kawasan Teluk tak kunjung berakhir. "Negara-negara ini menggunakan taktik diplomatik yang tidak ada dalam diplomasi modern. Ini tentu tidak baik," ujar Abdulrahman kepada wartawan di Doha, Qatar.
Kendati demikian, dia memastikan, Qatar selalu siap untuk berdialog. Abdulrahman pun menyatakan, krisis harus segera diatasi. GCC, menurut dia, memiliki peranan penting untuk mewujudkan keamanan di kawasan Teluk. "Kami merasa iba karena GCC akan menjadi korban krisis. Hal ini telah memengaruhi keamanan secara langsung karena perilaku negara-negara yang melakukan blokade," kata Abdulrahman.
Perihal perkembangan krisis Teluk, analis politik senior Aljazirah Marwan Bishara mengapresiasi langkah-langkah Tillerson. Namun, Bishara menilai langkah Tillerson tidak agresif meski sudah tegas. "Saya belum pernah mendengar pernyataan Tillerson lebih jelas dari yang disampaikan sekarang. Namun, terkait akar masalah dari krisis dan bagaimana mengatasinya serta siapa yang bersalah, belum ada kemajuan yang dilakukan Tillerson," kata Bishara.
(Editor: Muhammad Iqbal).