REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengungkapkan penyidik KPK telah merampungkan berkaspenyidikan Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra) Non-aktif, Nur Alam. Penyidik KPK pun telah melimpahkan berkas Nu Alam Jaksa Penuntut Umum KPK untuk dilanjutlan ke tahap penuntutan.
"Hari ini (31/10) telah dilakukan pelimpahan barang bukti dan tersangka NA dalam TPK penyalahgunaan kewenangan oleh Gubernur Sultra dalam Persetujuan dan penerbitan IUP di wilayah Provinsi Sultra tahun 2008-2014 ke penuntutan atau tahap dua," ungkap Febri di Gedung KPK Jakarta, Selasa (31/10).
Febri menambahkan, pelimpahan tahap dua pada hari ini bersamaan dengan akan berakhirnya masa penahanan terakhir untuk Nur Alam. Setelah pelimpahan berkas, sambung Febri, JPU KPKmempunyai waktu 14 hari untuk menyusun dakwaan yang akan dibacakan dalam persidangan perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Namun, lanjut Febri, sampai saat ini KPK belum dapat memastikan dimana Nur Alam akan menjalani persidangan. KPK masih mengupayakan agar persidangan Gubernur Sultra non-aktif tersebut digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta.
"Rencana persidangan masih kami pertimbangkan apakah di Jakarta atau Sultra. Jika akan dilakukan di Jakarta, KPK akan proses lebih lanjut ke Mahkamah Agung (MA)," ujar Febri.
Nur Alam ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan. Gubernur dua periode itu mengeluarkan tiga SK kepada PT Anugrah Harisma Barakah selaku perusahaan yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sultra.
Nur Alam juga pernah mengajukan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, namun hakim tunggal I Wayan Karya menolak seluruh permohonan praperadilan Nur Alam yang dibacakan pada 12 Oktober 2016 lalu.
Nur Alam dalam perkara ini disangkakan pasal 2 ayat 1 atau pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) 2013, Nur Alam diduga menerima aliran dana sebesar 4,5 juta dolar AS atau setara dengan Rp 50 miliar dari Richcorp Internasional yang dikirim ke bank di Hong Kong dan sebagian di antaranya ditempatkan pada tiga polis AXA Mandiri Richcorp, melalui PT Realluck International Ltd (saham Richcop 50 persen) merupakan pembeli tambang dari PT Billy Indonesia.