Oleh: Lukman Hakiem*
"Kalau ketentuan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sudah tidak sesuai lagi dengan zaman dan malahan akan menghalangi pelaksanaan tujuan negara, maka ketentuan-ketentuan itu harus diubah...."
Jika kalimat di atas diucapkan oleh seorang pengamat politik di bawah sorot lampu kamera dalam suatu acara talk show di televisi yang mewabah sejak era Reformasi, tentu tidak mengejutkan. Bukankah di masa Reformasi ini orang bebas menyampaikan apa saja?
Rangkaian kalimat di atas diucapkan dengan penuh percaya diri oleh Drs Lafran Pane (1922-1991) dalam Pidato Dies Natalis ke-2 Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta pada awal Orde Baru, 30 Mei 1966. Ketika UUD 1945 belum lagi genap tujuh tahun diberlakukan kembali, ketika Orde Baru datang dengan semangat melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen yang memantangkan perubahan, pemrakarsa berdirinya Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) itu justru bicara mengenai keharusan perubahan UUD.
Empat tahun kemudian, dalam Pidato Pengukuhan sebagai Guru Besar Ilmu Tata Negara pada Fakultas Keguruan Ilmu Sosial (FKIS) IKIP Yogyakarta, Lafran Pane kembali menegaskan pendiriannya. "Bagi saya," kata Lafran, "undang-undang pada waktu yang tertentu memuat hukum, tetapi beberapa waktu sesudah itu dapat tidak memuat hukum lagi. Begitu pun UUD pada waktu tertentu memuat hukum dasar (aturan-aturan pokok), tetapi beberapa waktu sesudah itu dapat tidak memuat hukum dasar lagi."
Dengan demikian, undang-undang ataupun UUD harus senantiasa diubah sesuai berubahnya hukum, sesuai dengan berubahnya penilaian mengenai apa yang seharusnya dan apa yang tidak seharusnya. Khusus tentang UUD 1945, Lafran mengingatkan bahwa antara 1945-1949 sudah berkali-kali UUD itu diubah, mulai Maklumat Wakil Presiden Nomor X yang mengubah Aturan Peralihan Pasal IV mengenai tugas Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP); Pengumuman Badan Pekerja KNIP Nomor 5/1945 tentang perubahan sistem pemerintahan dari presidensial ke parlementer; sampai UU Nomor 9/1949 yang memberi wewenang kepada KNIP untuk bersama dengan pemerintah mengubah UUD.
Perubahan terhadap UUD 1945 itu dilakukan melihat keadaan pada waktu itu dan dengan sendirinya keyakinan rakyat senantiasa digunakan sebagai ukuran. Melihat pengalaman perubahan terhadap UUD 1945, Lafran berpendapat dan menyarankan agar perubahan itu tidak dilakukan pada Batang Tubuh UUD 1945, tetapi sebagai lampiran dari UUD. Lampiran yang merupakan perubahan UUD dapat pula sewaktu-waktu dicabut atau diubah.
Biarpun dalam UUD 1945 tidak ada ketentuan yang melarang mengubah beberapa hal dalam Pembukaan maupun Batang Tubuh UUD 1945, mengingat sejarah terbentuknya UUD ini dan adanya konsensus nasional, Lafran berpendapat ada enam yang tidak boleh diubah, yaitu dasar (filsafat) negara Pancasila, tujuan negara, asas negara hukum, asas kedaulatan rakyat, asas negara kesatuan, dan asas republik.
Menurut Lafran, apakah negara RI harus menganut sistem presidensial atau sistem parlementer, tidaklah prinsipil. Di bawah UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950-5 Juli 1959) yang dengan tegas menganut sistem parlementer, belum pernah ada menteri atau kabinet yang jatuh karena mosi tidak percaya DPR. Justru di bawah UUD 1945 yang diberlakukan kembali sejak 5 Juli 1959, dengan Ketetapan MPR Nomor XXXIII/1967 pemerintahan Presiden Sukarno jatuh. Dan, jatuhnya pemerintahan itu karena kebijakan politiknya yang tidak disetujui MPR.
Di Amerika Serikat yang dengan tegas menganut sistem presidensial, tidak mungkin seorang Presiden jatuh karena kebijaksanaan politiknya. Senat memang dapat menjatuhkan hukuman kepada Presiden berupa pemecatan hanya jika Presiden terbukti melakukan kejahatan tertentu sesuai dengan yang ditetapkan dalam konstitusi.
Di sinilah Lafran datang dengan gagasan yang melampaui zaman. "Jika ingin menganut sistem presidensial secara tegas, lebih baik diubah saja cara pemilihan presiden. Tidak dipilih lagi oleh MPR, tetapi dipilih secara langsung oleh rakyat," ujar Lafran seraya menambahkan, "Dengan demikian, presiden tidak harus bertanggung jawab lagi kepada MPR dalam arti luas. Dan dengan demikian, ada jaminan kestabilan pemerintah."
Dengan nada retoris, Lafran bertanya, "Haruskah yang melakukan kedaulatan rakyat satu majelis bernama MPR? Dan, mengapa hanya MPR yang melakukan kedaulatan rakyat, dapat dipersoalkan. Dilihat dari nama dan cara pembentukannya, apakah DPR tidak pantas pula disebut satu majelis yang melakukan kedaulatan rakyat? MPR melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya masih menjadi persoalan."
Yang terang, sesuai UUD 1945, MPR tidak berhak menetapkan berapa jumlah anggotanya. Jumlah anggota MPR ditetapkan oleh UU. Artinya, ditetapkan oleh Presiden bersama DPR. Ada ahli yang mengatakan ini adalah atas kehendak MPR karena yang menetapkan UUD adalah MPR. Jadi, MPR mengikatkan dirinya secara sukarela (selbstbindung) kepada keputusan Presiden bersama DPR.
Mengadili adalah wewenang Mahkamah Agung dan pengadilan lain. MPR tidak punya hak mengadili. Ini pun dikatakan karena selbstbindung. Apakah jika suatu waktu MPR tidak mau terikat lagi kepada presiden, DPR, dan MA; MPR dapat mengubah keputusan tersebut?
Menghindari dilema seperti itu, juga sesuai dengan arti melakukan kedaulatan rakyat sepenuhnya, Lafran mengusulkan agar MPR dipilih secara langsung oleh rakyat. DPR lebih baik ditiadakan dan diganti dengan Badan Pekerja MPR yang diberi tugas seperti DPR. Anggota BP-MPR ditetapkan umpamanya 2/5 dari seluruh anggota MPR yang dipilih dari dan oleh MPR. Dewan Pertimbangan Agung lebih baik ditiadakan dan diganti oleh satu panitia yang dipilih dari dan oleh MPR. Dengan demikian, nasihat panitia ini akan berwibawa mengingat presiden harus bertanggung jawab kepada MPR.
Saya bukan ahli ilmu tata negara, melainkan membaca tulisan Lafran Pane di dalamnya saya menemukan kenyataan betapa pendiri HMI seorang yang bukan saja berani berpikir bebas, melainkan juga mampu berpikir jauh melampaui zamannya. Diperlukan waktu 34 tahun untuk mewujudkan gagasannya mengenai pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Kader-kader HMI masa kini patut mereguk ilham dari Lafran Pane. n
*Lukman Hakiem, Anggota DPR RI 2004-2009