REPUBLIKA.CO.ID, Di sebuah jalan protokol, Jalan Ahmad Yani Kota Bekasi, Ahad (12/11) pagi itu, warga Bekasi ramai menikmati Car Free Day. Anak-anak kecil berlarian, sedang yang remaja sibuk bermain sepak bola dengan sepasang sepatu sebagai gawangnya. Yang lain, juga terlihat menikmati permainan bulu tangkis, dan tak jarang sedang berjogging.
Di antara keramaian itu, terlihat dua anak laki-laki muda sibuk melakukan aktivitas tak lazim. Sebuah kantong plastik hitam berukuran besar terlihat mereka bawa.
Sambil berjalan, mereka berhenti sejenak. Lalu memungut sesuatu dan memasukkannya dalam plastik itu. Lalu berjalan kembali, lalu berhenti untuk memungut lagi.
Sampah, adalah sesuatu itu yang mereka pungut. Mereka terlihat bukan seorang petugas dinas kebersihan, ataupun pemulung. Mereka adalah Racmat Wardana dan Bagas Triananda. Siswa sekolah SMA Negeri 13 Kota Bekasi.
"Karena kebersihan sebagian dari iman," tutur Bagas saat Republika tanya apa hal yang mendorongnya untuk memunguti sampah. Keduanya lantas sama-sama meringis, karena mendengar jawaban Bagas.
Bagas menganggap saat ini masyarakat Bekasi kurang peduli dengan lingkungannya. Tak heran, banyak orang luar Bekasi yang menganggap Kota Bekasi adalah kota yang penuh dengan sampah. "Orang berpandangan Bekasi itu kotor, sehingga ngga mengundang wisatawan datang ke Bekasi," ujarnya.
Pemuda berumur 17 tahun itu mengamati, dari banyak jalan di Kota Bekasi hanya jalan-jalan protokol saja yang terlihat bersih. "Selebihnya, di (jalan) di dalam-dalam, lingkungannya sangat kotor," ungkapnya.
Hal itu disepakati oleh Rahmat. Pemuda yang juga berumur 17 tahun itu juga mengamati hal yang sama. Ia malah menyebutkan beberapa kawasan yang menurutnya memiliki lingkungan yang kurang besih. "Contohnya di Rawalumbu, yah itu kotor banget," katanya.
Berbeda dengan Bagas, hal yang membuat Rachmat tergerak untuk memungut sampah di kawasan Car Free Day di Kota Bekasi adalah kesan Kota Bekasi yang identik dengan Tempat Penampungan Sampah di wilayah Bantar Gebang. "Bantar Gebang itu seperti ikonnya Kota Bekasi," katanya.
Saat ia mengunjungi TPS di Bantar Gerbang, ia melihat sampah-sampah yang digabung, datang setiap hari dari Jakarta. "Ada 6.000 sampai 7.000 ton sampah, dan itu tercampur semua," tuturnya.
Dengan keadaan yang seperti itu, ia menuturkan bahwa penting bagi masyarakat untuk memisahkan sampah sejak dari awal di tingkat rumah tangga. Bila sampah terpisah, maka sampah akan lebih mudah dilakukan pengolahan daur ulang. Sampah akan lebih berguna di tangan orang-orang yang berilmu, ungkapnya.
Ketika ditanya mengenai bagaimana peranan Pemerintah Daerah (Pemda) setempat, pemuda delapan bersaudara itu menilai saat ini belum optimal. Saya tidak tahu apakah ada perda soal sampah. "Tapi yang jelas, saya belum pernah menemukan orang yang ditegur dan membayar denda karena buang sampah sembarangan," ujarnya.
Pemda juga masih minim menyediakan tong-tong sampah di sekitaran jalan di Kota Bekasi. "Dari tong ke tong, jaraknya jauh-jauh. Ngga heran orang-orang malas untuk buang sampah pada tempatnya," katanya.
Baik Rachmat dan Bagas, mengaku tak malu bila turut memungut sampah di Jalan Ahmad Yani saat Car Free Day. Malahan, menurut Rachmat, ia juga turut memberikan edukasi pada masyarakat karena merasa memberikan contoh yang baik. "Buat apa harus malu? Kita bawa kebaikan dan kebenaran," tegasnya.
Mereka yang tergabung dalam Komunitas Bekasi Clean Action itu lalu berpesan, untuk bersama-sama menghilangkan anggapan Kota Bekasi adalah kota sampah. "Kalau lingkungan kotor, itu perlu dipertanyakan iman dari diri masing-masing," kata Rachmat.