REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Jenderal Partai Golkar Idrus Marham bersama penasihat hukum Fredrich Yunadi menemui Ketua DPR Setya Novanto di Gedung DPR pada Rabu (15/11). Kehadiran keduanya diketahui untuk membahas persoalan hukum yang menjerat Novanto dalam kasus dugaan korupsi proyek pengadaan KTP-el.
Hal ini juga bersamaan dengan mangkirnya Novanto dalam panggilan pertama Novanto sebagai tersangka dalam kasus KTP-el pada hari ini. Baik Idrus maupun Frederich juga diketahui cukup lama berada di ruangan Novanto sejak siang hingga keluar, pada sore hari sekira pukul 16.15 WIB.
"Saya sendiri ketemu dengan Bung Setnov ternyata sudah ada penasihat hukumnya Pak Fredrich, tentu saya akan mempertanyakan tentang bagaimana Bung Setnov merespons panggilan pada hari ini untuk hadir di KPK," ujar Idrus Marham di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Idrus mengungkap, sesuai penjelasan penasihat hukum yakni Fredrich Yunadi, mangkirnya Novanto dari panggilan KPK karena alasan tengah dilakukan uji materi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK ke Mahkamah Konstitusi. Menurut Idrus juga, Fredrich menyarankan Novanto tidak hadir pemeriksaan karena mengacu alasan serupa yang digunakan KPK saat mangkir dari panggilan Pansus Angket DPR terhadap KPK, bahwa terlebih dahulu menunggu proses uji materi di MK.
"Kalau KPK ketika dipanggil Pansus DPR sampaikan bahwa tidak hadir memenuhi panggilan pansus KPK sampai adanya putusan dari MK. Lalu Pak Fredrich mempertegas kalau konstruksi KPK seperti itu, maka tentu selaku penasihat hukum, menyarankan dan memberikan advice pada Setnov juga karena ini sedang dalam proses JR di MK," ujar Idrus.
Pada Jumat (10/11) KPK kembali menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka. KPK menduga Novanto pada saat proyek KTP-el bergulir Novanto yang menjabat sebagai anggota DPR RI periode 2009-2014 bersama dengan Direktur PT Quadra Solution Anang Sugiana Sudiharja, pengusaha Andi Agustinus dan dua pejabat Kemendagri Irman, dan Sugiaharto, menguntungkan diri sendri atau korporasi atau orang lain dengan menyalahgunakan jabatan atau kewenangan dan kedudukan yang mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai paket pengadaan senilai Rp 5,9 triliun tersebut.