Kamis 16 Nov 2017 03:01 WIB

Sam Bandingkan Nelayan Korban Reklamasi Vs Pekerja Alexis

Rep: Ali Mansur/ Red: Reiny Dwinanda
Nelayan kerang hijau Muara Angke menambatkan perahunya di dermaga. Di garis cakrawala proses reklamasi telah menggusur tempat-tempat peterenakan kerang hijau di Teluk Jakarta.
Foto: Wihdan HIdayat/Republika
Nelayan kerang hijau Muara Angke menambatkan perahunya di dermaga. Di garis cakrawala proses reklamasi telah menggusur tempat-tempat peterenakan kerang hijau di Teluk Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasib para nelayan yang terimbas proyek reklamasi Teluk Jakarta masih belum jelas. Untuk membahas persoalan tersebut, Ketua Pengusaha Muda Indonesia Sam Aliano mendampingi perwakilan nelayan beraudiensi dengan Kementerian Koordinator (Kemenko) Bidang Maritim.

"Mengingat pihak Kemenko Maritim selama ini kami anggap mendukung proyek reklamasi, kami meminta agar Kemenko Maritim melindungi dan memerhatikan nasib nelayan," kata Sam di Gedung Kemenko Maritim, Jakarta, Rabu (14/11).

Sam menuturkan, selama ini para nelayan tidak pernah diperdulikan pemerintah. Bahkan, nasib nelayan tidak mendapat perhatian khusus hingga terkesan diabaikan

"Padahal, mereka warga asli Jakarta yang kehilangan nafkah demi kepentingan reklamasi," ujar Sam.

Ia kemudian membandingkannya dengan kasus lain yang membuat pekerja kehilangan mata pencariannya.  

Saat pemerintah provinsi DKI Jakarta menutup Alexis hotel dan griya pijat Alexis beberapa waktu lalu, para pekerja hiburan, termasuk pekerja asing, justru dibela dan mendapat sorotan. Gubernur Jakarta Anies Baswedan bahkan diminta untuk bertanggung jawab karena mereka kehilangan lahan pekerjaan.

"Ada pihak-phak yang peduli dengan nasib PSK asing dari Thailand, Cina di Alexis. Bahkan, ada pihak yang mempertanyakan kepada Anies pertanggungjawaban untuk mencarikan pekerjaan untuk para PSK asing. Seolah-olah PSK asing itu dianggap berlian. Sedangkan para pekerja nelayan atau pekerja pabrik dianggap semut, tidak ada nilai," paparnya.

Sam mengatakan, perlakuan seperti itu dapat menjadi citra negatif, berpotensi merusak masa depan anak bangsa, serta mengganggu kenyamanan dan ketenangan masyarakat.

"Saya bertanya, di mana harga diri kita sebagai bangsa dan negara? Hal yang baik kepada masyarakat dibiarkan justru diabaikan. Itu juga yang saya pertanyakan kepada pihak Kemenko Maritim. Mereka harus perhatikan nasib nelayan yang kena imbas proyek reklamasi," tutur Sam.

Apalagi, ia memerhatikan terdapat kejanggalan dalam kasus reklamasi. 

Di masa akhir kepemimpinan Gubernur DKI Djarot Saiful Hidayat,  pihak Kemenko Maritim justru memberikan izin dan sertifikat tanah pulau reklamasi senilai Rp 3,12 juta per meter persegi dalam waktu satu hari.

"Itu tidak masuk akal. Karena kita urus rumah kecil untuk mendapat perizinan dan sertifikat saja susah. Butuh waktu berbulan-bulan. Jadi bagaimana caranya tanah seluas itu bisa mendapat izin dalam waktu singkat? Artinya, memang ada phak yang ingin menggagalkan program Anies sesuai janjinya kepada rakyat," ujar Sam. (Ali Mansur)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement