REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berita mengenai tarik ulur kasus Setnov dan KPK menjadi perhatian banyak pihak. Pakar hukum UI, Teuku Nasrullah, menyatakan sampai kemarin dia masih menyimpan rasa hormat kepada pemimpin DPR RI tersebut. "Sampai kemarin saya masih menghormati perjuangan beliau. Tapi per hari ini, ketika beliau sudah menghilang, disitulah yang saya anggap tidak sepatutnya beliau sebagai ketua DPR, ketua umum partai Golkar, tidak patuh pada hukum," ujar Teuku Nasrullah saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (16/11).
Dosen Universitas Indonesia tersebut menyatakan menghormati sikap Setya Novanto sebelumnya yang berjuang bagi kepentingan dirinya. Setiap orang memiliki hak untuk memperjuangkan kepentingan pribadi.
Setnov dianggap mengambil langkah hukum untuk memperjuangkan haknya. Hak yang menurut persepsi pribadinya bahwa penyidikan KPK telah menyalahi aturan. "Kita tidak bisa mengecam itu meskipun ada hal yang tidak enak, yaitu pimpinan KPK dilaporkan. Nah itu hal yang tidak enak bagi kita yang ingin melihat bagaimana upaya pemberantasan korupsi," ucap Teuku.
Sebagai salah satu pemimpin negara, dia mengatakan, Setnov dianggap tidak bisa memberikan contoh yang baik bagi warga negara Indonesia. Dengan memperlihatkan sikap tidak mentaati proses hukum sama saja tidak menunjukkan sikap kepemimpinannya.
Teuku menambahkan wajib hukumnya bagi setiap warga negara RI untuk memenuhi panggilan kepolisian. Namun ada beberapa alasan bagi seseorang untuk tidak menghadiri panggilan pemeriksaan.
Tiga alasan yang bisa diterima yaitu; sakit, ada tugas negara yang tidak bisa diwakilkan, sedang berada di luar negeri. Namun dibalik izin tersebut, warga negara yang dipanggil tetap harus membuat penjadwalan pemanggilan ulang dengan instansi terkait.
"Kalau menurut saya silakan beliau hadir tapi perjuangan untuk keadilan yang beliau rasakan tidak adil, silahkan lakukan secara maksimum lewat pengacaranya. Praperadilan itu tidak apa-apa. Setiap orang punya hak untuk memperjuangkan apa yang dia yakini," ujar Teuku.