REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Merebaknya kasus difteri di Jawa Timur dinilai karena banyak masyarakat yang enggan melakukan vaksinasi. Ketua Forum Pers RSUD dr Soetomo dr Agus Harianto SpA(K) menyatakan, banyak warga beranggapan bahwa vaksinasi adalah haram hukumnya. "Jatim tertinggi karena banyak yang tidak mau divaksinasi. Bahkan ada yang mengharamkan vaksinasi, itu tidak betul," katanya di Surabaya, Kamis (7/12).
Agus menyatakan, melalui program vaksinasi yang dicanangkan pemerintah dapat mencegah penyebaran kasus difteri di Jatim. Menurut dia, daerah Tapal Kuda (Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Jember, Situbondo, Bondowoso, Banyuwangi) menjadi daerah yang paling banyak tidak ingin diberi vaksinasi penyakit yang menyerang anak-anak usia 1-10 tahun ini.
"Daerah Tapal Kuda itu yang banyak (tidak ingin vaksinasi). Seharusnya, kartu vaksinasi ini kan harus dimiliki setiap anak," ujarnya.
Agus menjelaskan, gejala penyakit difteri sendiri ada dua yang penting, yakni tempat inveksi dan racun. Tempat infeksi sendiri yang paling sering di tenggorokan dan kulit. Yang paling berbahaya di daerah tenggorokan karena bisa menyebabkan penyumbatan saluran pernapasan yang membahayakan pasien.
"Itu bisa meracuni jantung dan kematian itu karena kelainan pada jantung. Oleh karena itu, perlu dilakukan isolasi pada pasien. Kalaupun sembuh pun pasien tidak boleh olahraga dua-10 pekan," paparnya.
Agus yang juga dokter spesialis anak ini meminta pemerintah dalam hal ini dinas terkait aktif melakukan sosialisasi pentingnya vaksinasi. Bahkan bila perlu di lingkup sekolah apabila terdapat anak yang tidak punya kartu vaksinasi maka wajib dirujuk ke puskesmas untuk dilakukan vaksin.
"Kita imbau semua anak-anak yang masuk sekolah punya kartu vaksinasi. Agar penyakit difteri tidak terjangkit di Indonesia. Sebenarnya bisa nol kan asal masyarakat bersedia lakukan vaksinasi," tuturnya.