Selasa 12 Dec 2017 18:00 WIB

Hamdan Zoelva Nilai Pembatalan RKU RAPP tak Berdasar

Hamdan Zoelva
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Hamdan Zoelva

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) mempertanyakan langkah pemerintah, dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), atas pembatalan terhadap Rancangan Kegiatan Usaha (RKU) RAPP periode 2010-2019. Mereka menilai kebijakan itu belum memiliki dasar hukum yang jelas.

Sebelumnya KLHK menerbitkan SK Menteri LHK tentang pembatalan keputusan Menteri Kehutanan No. SK.93/VI BHUT/2013 tentang persetujuan revisi Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (RKUPHHK HTI) untuk jangka waktu 10 tahun periode 2010-2019.

"Menurut RAPP pembatalan RKU sebelum habis masa berlakunya itu tidak berdasarkan hukum. Ingat dalam hukum dikenal asas non retroaktif. Artinya suatu peraturan yang baru tidak boleh berlaku untuk suatu peristiwa lampau. Oleh karena itu suatu peraturan perundang-undangan, termasuk PP ini, ditegaskan bahwa asas non retroaktif berlaku," kata Hamdan Zoelva di Jakarta, Selasa (12/12).

Lebih lanjut Mantan Ketua Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) ini menuding terbitnya SK Pembatalan RKU RAPP tidak sesuai dengan ketentuan Pembatalan sebuah keputusan sebagaimaan di atur dalam Pasal 66 ayat (1) UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP)

"Sebagai respon atas terbitnya SK tersebut RAPP sendiri tengah mengajukan permohonan keberatan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Kita harap termohon (KLHK) agar mencabut SK tersebut," ujar Hamdan.

Sehari sebelumnya, saksi ahli administrasi negara dari Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Prof Dr Zudan Arif Fakrulloh, SH, MH, menyatakan dalam memenuhi syarat kepastian hukum, pemerintah harusnya menggunakan azas umum pemerintahan yang baik. Salah satu contohnya adalah azas pemberian harapan yang wajar kepada masyarakat yang mengajukan permohonan.

Zudan menyatakan hal tersebut sebagai respons atas pertanyaan tim kuasa hukum RAPP pada persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Jakarta. Tim kuasa hukum mempertanyakan hal yang berkaitan dengan batas waktu 10 hari dari pemerintah untuk merespons, sebagaimana diatur Pasal 77 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.

"Tentu saja kalau melihat dimensi-dimensi lain yang bisa timbul, misalnya dampak sosial, politik, maka pemerintah harus menggunakan azas umum pemerintahan yang baik. Yang baik itu misalnya azas pemberian harapan yang wajar. Sebenarnya pihak pemohon itu, harapannya kalau ini diproses maka hendaknya ditolak atau hendaknya dipenuhi," jelasnya.

Zudan menuturkan, selain pemerintah harus merespon atas adanya permohonan yang diajukam masyarakat. Pemohon atau masyarakat juga harus tunduk atas adanya aturan yang melingkupi dalam pengajuan permohonan tersebut. "Karena, permohonan yang diajukan pemohon juga bukan untuk membatalkan sesuatu peraturan yang sudah ada," katanya.

Oleh karena itu, kata Zudan, harus ada perbuatan konkret atau langkah nyata dari pemerintah ketika ada permohonan yang diajukan masyarakat. "Di antara perbuatan konkret atau tindakan nyata yang bisa dilakukan dengan menggelar rapat, seminar, diskusi, atau mengunjungi lokasi atau lapangan," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement