Jumat 22 Dec 2017 15:05 WIB

RUU Perkelapasawitan Masuk Prolegnas 2018

Rep: Iit Septyaningsih/ Red: Dwi Murdaningsih
 Suasana pagi hari di Hutan Lembah Klaso, kampung Sbaga, Klaso, Sorong, Papua Barat Kamis (9/11). Luasan hutan Papua (Papua dan Papua Barat) yang merupakan hutan terluas di Asia tenggara kini sedang menghadapi ancaman dengan banyaknya investasi perkebunan kelapa sawit.
Foto: dok. Bentara Papua
Suasana pagi hari di Hutan Lembah Klaso, kampung Sbaga, Klaso, Sorong, Papua Barat Kamis (9/11). Luasan hutan Papua (Papua dan Papua Barat) yang merupakan hutan terluas di Asia tenggara kini sedang menghadapi ancaman dengan banyaknya investasi perkebunan kelapa sawit.

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (Baleg DPR) memasukan RUU Perkelapasawitan ke dalam program legislasi nasional (Prolegnas) 2018. Pasalnya, sebagai komoditas strategis nasional, kelapa sawit perlu dilindungi negara melalui regulasi dalam bentuk undang-undang (UU).

Anggota Komisi IV DPR Hamdhani mengatakan, ada beberapa alasan utama pentingnya dibentuknya RUU Perkelapasawitan. Menurutnya, selain sebagai komoditas strategis nasional yang perlu dilindungi, keberadaan UU ini juga akan melindungi kepentingan petani sawit.
 
Harus ada payung hukum khusus, hak-hak petani mestinya dilindungi. Hal ini karena di perkebunan sawit, tidak hanya dilakukan oleh pengusaha besar, tapi juga ada para petani baik plasma maupun petani mandiri, ujar Hamdhani melalui keterangan resmi, Jumat, (22/12).
 
Baginya, saat ini sawit telah menjadi industri besar yang banyak menyerap sekitar 30 juta tenaga kerja baik langsung maupun tidak langsung. Bahkan sejak 2016, komoditas ini memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar Rp 260 triliun.
 
Jumlah ini menempatkan sawit sebagai komoditas yang memberikan kontribusi terbesar terhadap PDB nasional, melampaui sektor pariwisata, minyak dan gas bumi (migas). Maka, kata dia, pemerintah sebaiknya mendukung RUU tersebut. 
 
Bila tidak dibuatkan UU khusus, tegas dia, lambat laun industri sawit akan tergerus oleh komoditas sejenis yang dihasilkan oleh negara asing. "Eropa dan Amerika toh juga mati-matian melindungi komoditas rapeseed, bunga matahari, canola, dan kedelai mereka. Mereka selama ini yang melakukan kampanye negatif terhadap sawit kita," kata Hamdhani. 
 
Dalam UU khusus ini juga mengamanatkan badan khusus yang mengatur soal sawit dari hulu hingga hilir. Adanya badan khusus ini, kata dia, akan memudahkan pemerintah dalam mengatur industri yang telah terbukti menjadi penopang perekonomian nasional ini.
 
Perlu diketahui, saat ini industri sawit diurusi oleh banyak kementerian atau lembaga negara. Menurutnya, kebijakan di antara kementerian atau lembaga tersebut saling bertolak belakang dan tumpang tindih.
 
Maka dalam RUU itu, ia akan memperjuangkan adanya dana bagi hasil bagi daerah penghasil sawit. Saat ini ada 18 provinsi yang menghasilkan sawit. Hanya saja tidak ada dana bagi hasil yang diberikan ke daerah. "Harusnya ada dana bagi hasil sebagaimana yang terjadi di sektor migas. Apalagi industri sawit ini sudah melampaui sektor migas. Dana bagi hasil ini untuk pembangunan daerah," katanya.
 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement