Selasa 26 Dec 2017 08:27 WIB
Evaluasi 2017

2017, Tahun Kemenangan Assad dalam Perang Suriah

Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Foto: Reuters
Presiden Suriah Bashar al-Assad.

REPUBLIKA.CO.ID, Tahun 2017 boleh dibilang merupakan tahun kemenangan bagi Presiden Bashar al-Assad. Setelah sebelumnya sempat tertekan, Assad kini berada di atas angin.  Pasukannya yang didukung oleh Rusia  dan Iran berhasil merebut satu persatu wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh ISIS atau oposisi.

Pada akhir 2016, pasukan Suriah merebut wilayah Aleppo yang sebelumnya menjadi basis oposisi. Kemenangan itu, membuat posisi tawar Assad dalam diplomasi dengan negara-negara internasional.

Pada 2017, pasukan Suriah juga merebut Mayaden dan dataran tinggi di provinsi sebelah barat, Suwayda. Satu Provinsi yang kini masih menjadi incaran Assad adalah Idlib. Ini merupakan basis utama oposisi yang sebelumnya keluar dari wilayah pertempuran di Aleppo. 

Harus diakui peran Rusia dan Iran sangat penting dalam mendorong kemenangan Assad pada 2017. Pasukan kedua negara all out dalam mendukung Assad, baik dari sisi persenjataan maupun personel. Berbeda dengan blok AS dan sekutunya yang mendukung oposisi.

Iran, selain menerjukan milisi juga menurunkan jenderal langsung untuk mengatur taktik atau strategi dalam memenangkan pertempuran. Sejumlah jenderal Iran  bahkan tewas dalam pertempuran.  Salah satunya, Jenderal Hussein Hamedani yang tewas di Aleppo.

Menteri Pertahanan Israel Avigdopada Oktober lalu mengakui kemenangan Assad tersebut. "Saya melihat banyak antrean Internasional untuk merayu Assad, termasuk moderat Suni. Pada akhirnya setiap orang akan mendekat Assad, karena Assad telah menang," ujarnya ketika itu.

Pada 2017, Turki juga mengubah haluannya. Ankara yang ikut terlibat membantu oposisi kini mau berunding dengan Rusia dan Iran.  Perpindahan haluan itu, tak terlepas dari sikap protes Turki ke AS yang membantu milisi Kurdi. Bagi Turki, milisi Kurdi merupakan gerakan teroris dan mengancam kedaulatan negara.

Kini Rusia, Iran dan Turki menjadi blok baru dalam penyelesaian konflik Suriah. Pada November lalu, Presiden Rusia Vladimir Putin menjadi tuan rumah dalam pertemuan dengan Iran dan Turki. Pertemuan digelar di Kota Pesisir Sochi. 

Pada awal 2017, ketiga negara juga menggelar pertemuan di Astana meski belum sepenuhnya menyelesaikan konflik.   

Pertemuan ketiga negara tak direstui oleh negara-negara Barat. AS mengganggap pertemuan itu rapuh. AS dan Eropa bahkan mengganggap masa depan Suriah bukan di tangan Assad.  AS dan Eropa meminta agar Rusia tak ikut campur dalam konflik di negara itu.

Baru-baru ini, Presiden Rusia Vladimir Putin secara mendadak mengunjungi pangkalan militer Rusia di Suriah.  Putin pun mengindikasikan akan mengurangi pasukannya yang selama ini membantu Assad.

Perang Suriah yang telah berlangsung sejak 2011 diyakini masih akan berjalan panjang. Penyelesaian konflik di Suriah tak hanya bisa diselesaikan oleh satu kubu baik di dalam maupun luar negeri.

PBB harus kembali mengambil alih proses negosiasi yang melibatkan beragam kepentingan di Suriah. Dunia harus menghentikan Suriah sebagai tempat Proxy War antara AS dan Rusiah, Syiah dan Sunni atau kelompok-kelompok lainnya yang berkepentingan terhadap sumber daya dan wilayah strategis di Suriah.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement