REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting Pangi Syarwi Chaniago melihat isu uang mahar sudah tak asing lagi di balik pencalonan kepala daerah. Kepentingan koalisi di pilkada, kecenderungannya juga bukan berdasar kepentingan idelogis atau sekadar platform partai.
"Ada faktor mahar politik. Biasanya partai mengusung kader eksternal karena bisa 'membayar'. Saat itu biasanya disebut sebagai 'masa panen'," kata dia, Ahad (14/1).
Kader eksternal tersebut dijual untuk membesarkan partai. Makannya partai menjadi menerima mahar. Ada pula dana yang ditanggung selebihnya atau diupayakan oleh partai.
Mahar politik memang tidak selalu berlaku pada kondisi-kondisi tertentu. Ada kalanya partai menanggung seluruh dana, dikarenakan faktor calon yang diusung , misalnya punyan probabilitas tinggi untuk menang. Faktor lainnya seperti syarat memasangkan kader internal dengan calon kepala daerah yang hendak diusung.
Isu mahar politik dianggap sudah menjadi rahasia umum. Belakangan, selain bakal cagub Jawa Barat Dedi Mulyadi yang pernah mengaku diminta uang mahar oleh oknum Golkar, kamudian La Nyalla Mattalitti membongkar permintaan kesanggupan Rp 40 miliar dari Gerindra.
Teranyar, bakal calon wali kota Cirebon Brigjen Pol Siswandi mengaku dijegal PKS untuk maju di Piwalkot Cirebon karena tidak menyanggupi mahar miliaran rupiah.