REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suatu saat Imam Malik bin Anas ditanya sahabatnya perihal ayat yang berbicara tentang bagaimanakah Allah bersemayam di arasy-Nya (istiwa’). Apakah cara dan teknik istiwa’ tersebut layaknya ma nusia, misalnya saja, raja dalam hal ini di atas singgasananya? Persoalan itu cukup pelik memang. Hal ini meng ingat dasar teks yang menyebutkan bersemayam itu secara tegas dinyatakan dalam Al quran. “(Yaitu) Tuhan Yang Mahapemurah. Yang bersemayam di atas arasy.” (QS Thoha [20]:5).
Menjawab pertanyaan tadi, Imam Malik mengatakan bahwa bagaimana dan seperti apa bersemayam di luar prediksi, tetapi memercayai hal itu ada lah wajib, penasaran, dan ba nyak bertanya adalah termasuk bid’ah, dan saya kha watir diskusi semacam ini bisa me nyebabkan kesesatan.
Selain masalah istiwa’, masih banyak ayat yang membahas tentang sifat-sifat Allah. Upaya takwil oleh sebagian kalangan dinilai tidak mampu menjabarkan dan merasionalisasikan apa dan bagaimana pemahamannya. Karena itu, muncul istilah ayat-ayat mus tabihat. Para ge nerasi salaf lebih memilih un tuk menerima secara tekstual ayat-ayat ter sebut. Cara ini mereka anggap lebih memberi ketenangan dan keselamatan.
Karena itu, menurut Imam Zainuddin Mar’i bin Yusuf al- Karami, dalam kitabnya bertajuk Aqawil Ats-Tsiqat, muncul ungkapan Mazhab Salaf dinilai lebih dekat dengan kebe nar an (madzhab as salaf aslam).
Terlepas dari subjektif atau tidaknya pernyataan itu, tokoh yang lahir di Baitulmaqdis (Yerusalem) tersebut mengungkapkan dalam kitab yang berjudul lengkap Aqawil Atstsiqat fi Takwil Al Asma’ wa As Shifat wa Al Aayat Al Muhkamat wa Musytabihat bah wa golongan salaf unggul lantaran mereka adalah saksi mata saat Rasul diutus dan menerima segenap wahyu itu.
Keistimewaan yang mereka miliki itu tak lantas membuat mereka berkecimpung dan bermain-main dalam penafsiran atau penakwilan ayatayat soal hakikat zat dan sifat-sifat Allah.
Imam Zainuddin yang bermazhab Hanbali itu pun kemudian lebih meng hi rau- kan ungkapan lainnya yang masyhur kala itu bahwa generasi yang ada setelah masa salaf (khalaf) lebih pintar dan mampu mengartikan ayat-ayat itu. “Acuhkan saja pendapat bahwa khalaf itu lebih piawai,” tulis tokoh yang wafat pada 1033 H itu.
Kajian perihal ayatayat yang berkaitan de ngan haki kat zat dan sifat-sifat Allah yang dilakukan oleh Imam Zainuddin tersebut ter tuang dalam Kitab Aqawil Ats-Tsiqat ini. Melalui kitab yang ma nuskripnya di per oleh dari Perpusta kaan Ad Dhahi riyah, Da muskus, Suriah, ia menja bar kan penda pat-pendapat ulama yang tercecer di berbagai karya klasik.
Ia fokus terhadap dis kusi-diskusi yang ber kem bang di berbagai re fe rensi itu tentang masalah ini. Sehingga, kondisi tersebut menempatkan kitab yang rampung di ker jakan pada Jumadis Sani 1032 H itu ada lah karya pertama yang secara spesifik mengupas tentang dialektika ayat-ayat yang musytabihat.
Perdebatan antara satu sekte dan sekte lain dalam menyikapi dan menginterpretasikan ayat-ayat tersebut memunculkan fenomena pengafiran (takfir). Kelompok yang satu mengafirkan golongan lainnya lantaran perbedaan pandangan.
Tetapi, hal tersebut sangat dikecam oleh Syekh Zai nud din yang merupakan mu rid ulama ternama Mesir, Syekh Muhammad bin Abdullah Al Qalqasyan. Menurutnya, ke imanan seseorang tak bisa dijustifikasi dari per nyataanpernyataannya saja. Tetapi, iman yang konstan dan dianggap dalam aga ma ialah selama yang ber sang kutan masih me ya kini tentang prinsip-prinsip men da sar dalam agama, se perti konsep tauhid dan kenabian.