REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berbicara seni tari dalam Islam sebenarnya tak bisa diperoleh akar dan landasan teoretisnya. Tidak ditemukan teori yang secara khusus mengupas tentang perkembangan tarian sepanjang peradaban Islam eksis. Bandingkan, misalnya, dengan budaya dalam risalah India. Tari yang disajikan oleh Bharatanatya sastra yang disebutkan dalam risalah tersebut.
Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, tradisi “tari Islam” tidak pernah ada. Namun, budaya tari dalam masyarakat Muslim merupakan manifestasi artistik —yang disajikan dalam bentuk tertentu —ajaran Islam tentang tauhid, keesaan Allah, kemanusiaan, dan segala eksistensi.
Tarian yang kemudian muncul, sebagai bentuk seni dalam budaya Islam di seluruh dunia, berlandaskan gagasan ketunggalan dan transendensi Allah. Tari dalam masyarakat Muslim mencakup gaya tradisional yang dikembangkan dari repertoar improvisasional solo, seperti tari rakyat atau bentuk tradisional dari tari solo wanita ( raqsh al baladi) dan tari timur ( raqhs as syarqi).
Tari kelompok gender tertentu yang dibawakan dalam formasi berantai srikuler atau linier, seperti raqsh alhawanim(tari wanita), tari perang, seperti tari erang Mesir atau tari silat Semenanjung Melayu, dan tari mistis persaudaraan sufi, seperti majelis zikir kaum Darwis tarekat Maulawiyah.
Jika dicermati lebih jauh lagi, tauhid terkemuka melalui geometrid an irama yang termanifestasikan dalam tematema arabesk. Dengan begitu, tari dalam budaya Islam cenderung berupa serangkaian unit desain yang secara individu menyenangkan dan memuas kan. Bagian-bagian mandiri ini tersusun harmonis membentuk desain yang lebih besar yang juga menyenangkan dan membentuk dirinya. Karakteristik struktural gerak isyarat tari dan repetisi simetris tema-tema tari di dalam rancangan spasial yang sudah ditentukan mengundang elaborasi pola arabesk yang tak ada ujungnya.
Arabesk sendiri dalam seni visual Islam terbagi ke dalam dua macam, yaitu bersambung ( muttashil) dan terpisah ( munfashil). Kategori yang per tama menyerupai rangkaian kesatuan tema-tema abstrak yang terpadu dalam rangkaian sirkuler tak terbatas. Arabesk terbagi berupa perpaduan motif-motif dalam rangkaian unit mandiri.
Bila dijabarkan lagi, tari solo, misal nya, menonjolkan kreativitas improvisasional. Melihat gerakannya, langkah tari atau bahkan rancangan spasial diciptakan dengan pemaduan dan pe mo tong an tema dan sekuen tari untuk kenik matan ungkapan diri individual atau komunal.
Sedangkan, tari kelompok gender khusus dibawakan orang Muslim dalam bentuk tari berantai, tari kelompok, dan tari duduk linier. Dalam sebagian tari ini, pembawanya saling berpegang tangan dan pinggang, sementara sebagian lain dibawakan secara sendirisendiri dan serentak. Rentak irama kaki dan tepuk tangan para penari yang melantunkan refrain repetitive, yang sering diulang mengikuti melodi yang sama, mencirikan tari kelompok gender khusus.
Terkait dengan tari duduk linier kaum Muslim Asia Tenggara, mene kankan noninvidualisasi isi meskipun melahirkan esensi reptisi simteris melalui penciptaan formasi arabesk dengan cara berpautan tangan, menundukkan kepala, dan memutar batang tubuh. Setiap penari mencerminkan penari lain dalam selang gerak. Gerakgerak ini menekankan susunan harmonis tema-tema tari mandiri, yang juga memuaskan ketika dipadu sebagai rangkain pola berpautan.
Menengok tarekat Maulawiyah, tra disi tari “Darwis Berputar” tumbuh di kelompok pegiat tasawuf yang didirikan oleh Maulana Jalaluddin Rumi. Tari ini muncul dari praktik sufi, seperti sama’ dan zikir. Hal ini sebagai ungkapan kegembiraan karena mencapai keadaan melihat jelas misteri-misteri Tuhan. Kaum Maulawiyah ditasbihkan lewat janji setia kepada sang syaikh. Tokoh kunci spiritual itu lantas memimpin tari orang yang ditasbikan tersebut, mengatur tempo dan panjang tarian. Dalam ritual ini, terdiri dari majelis zikir yang melibatkan vokal dan instrumental, pem baca, dan penari.