REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif kecewa dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak permohonan uji materi Pasal 79 ayat 3 UU No. 17/ 2014 tentang MD3. Dengan putusan tersebut, maka hak angket KPK yang dibentuk DPR adalah sah.
"Kami merasa agak kecewa dengan putusannya karena judicial review itu ditolak," ujar Laode usai persidangan yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Gambir, Jakarta Pusat, Kamis (8/2).
Meski demikian, ia memahami putusan MK adalah putusan terakhir dan mengikat. Putusan yang tak dapat dibanding dan dikasasi. Karena itu KPK tetap menghormati putusan tersebut. Laode mengatakan, ada hal yang menarik di dalam perbedaan pendapat putusan tersebut. Ada empat Hakim Konstitusi yang menyatakan pendapat berbeda dengan Hakim Konstitusi lainnya, yaitu Maria Farida Indrati, Saldi Isra, I Dewa Gede Palguna, dan Suhartoyo.
"Ada yang menarik dari dissenting opinion. Putusan MK hari ini dianggap bertentangan dengan empat putusan MK sebelumnya," tutur Laode.
Dalam putusan MK terdahulu, kata dia, dikatakan KPK bukanlah bagian dari lembaga eksekutif. Namun, hari ini MK memutuskan KPK dianggap sebagai bagian dari eksekutif. Menurut Laode, yang menarik adalah bagaimana sikap tidak konsisten dari MK tersebut.
"Menarik untuk kita lihat inkonsistensi dari MK," ujar pria kelahiran Sulawesi Tenggara itu.
Dalam perbedaan pendapat tersebut disebutkan, secara hukum, serangkaian putusan MK telah berulang kali menyatakan independensi posisi KPK. Putusan-putusan itu di antaranya Putusan MK No. 012-016-019/PUU-IV/2006, Putusan MK No. 19/PUU-V/2007, Putusan MK No. 37-39/PUU-VIII/2010, dan Putusan MK No. 5/PUU-IX/2011.
"Independensi posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia masih dapat ditelisik dari belasan putusan Mahkamah Konstitusi yang lain," jelas Hakim Konstitusi Suhartoyo.
Secara umum, kata dia, serangkaian putusan MK itu menegaskan lima hal. Pertama, pembentukan lembaga seperti KPK dapat dianggap penting secara konstitusional dan keberadaan komisi-komisi negara semacam KPK telah merupakan suatu hal yang lazim.
Kedua, sifat kelembagaan KPK adalah sebagai lembaga penegakan hukum dalam bidang tindak pidana korupsi. Ketiga, KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur-tangan kekuasaan manapun.
Keempat, KPK adalah lembaga negara independen yang diberi tugas dan wewenang khusus antara lain melaksanakan sebagian fungsi yang terkait dengan kekuasaan kehakiman untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. KPK juga diberi tugas untuk melakukan supervisi atas penanganan perkara-perkara korupsi yang dilakukan oleh institusi negara yang lain.
"Kelima, pimpinan bersifat kolektif dan berakhirnya masa jabatan pimpinan dapat habis secara bergantian," kata Suhartoyo.
Menurut Suhartoyo, kelima hal tersebut telah meneguhkan posisi KPK dalam desain besar agenda pemberantasan korupsi. KPK merupakan salah satu amanah pokok yang diperjuangkan pada Era Reformasi. Hal itu juga menegaskan, KPK merupakan lembaga independen.
"Yang bukan berada di dalam tiga cabang lembaga kekuasaan negara di dalam doktrin trias politika. Dengan demikian, telah jelas KPK bukan termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif," sebutnya.