Jumat 09 Feb 2018 08:42 WIB

Komisi HAM PBB tak Bisa Tekan Indonesia Soal Pidana Zina

Tanggung jawab pemerintah melawan intervensi asing di RKUHP

Rep: Amri Amrullah/ Red: Bilal Ramadhan
Panitia Kerja Rancangan Undang undang Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Panja RUU RKUHP)
Foto: Republika/Fauziah Mursid
Panitia Kerja Rancangan Undang undang Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Panja RUU RKUHP)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kedatangan Komisi Tinggi HAM PBB bertemu Presiden Joko Widodo serta DPR Panja Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) tidak bisa menekan Indonesia menghentikan perluasan pasal pidana soal perzinaan. Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Maneger Nasution mengatakan Komisi Tinggi HAM PBB tidak bisa menekan Indonesia soal perluasan pasal perzinahan, termasuk perilaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) di RKUHP karena Indonesia punya kedaulatan hukum.

"Konsistensi dan keberanian pemerintah mengambil tanggung jawab membela kedaulatan hukum nasional melawan intervensi asing dalam kasus RKUHP, kembali diuji," kata mantan Komisioner Komnas HAM periode 2012-2017 ini, Jumat (9/2).

Demi kedaulatan hukum dan martabat bangsa, ia menegaskan Presiden dan DPR RI tidak boleh bertekuk lutut dengan intervensi asing soal hukum di Indonesia itu. "Indonesia punya kedaulatan mengatur hukum nasionalnya sesuai dengan nilai-nilai nasional Indonesia, Pancasila dan UUD 1945," tegasnya.

Bagi Indonesia, lanjut Maneger, Pancasila itu sangat penting. Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama, merupakan inti Pancasila. Sila pertama ini menjiwai sila-sila lainnya, termasuk sila kedua, sila tentang HAM yang adil dan beradab.

Menurut dia, para Komisi Tinggi HAM PBB harus paham walau Indonesia bukan negara agama. Tetapi masyarakatnya adalah masyarakat beragama.

Dengan demikian, tidak ada yang salah dengan keinginan Indonesia mengatur hukum nasionalnya sendiri, termasuk dalam konteks ini perluasan makna perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan. Sebab, keinginan perluasan makna terhadap beberapa isu itu harus dipahami sebagai bagian dari ikhtiar untuk memastikan terbangunnya hukum nasional berbasis keindonesiaan.

Sedangkan, KUHP yang ada sekarang adalah warisan kolonial Belanda. Keberanian dan konsistensi menolak intervensi asing itu pun harus dimaknai sebagai pesan bangsa Indonesia kepada dunia internasional. Bahwa pemerintah dan rakyat Indonesia tak mau bertekuk lutut dengan intervensi asing.

"Dengan demikian, tidak satu pun negara lain yang boleh mengintervensi hukum nasional di Indonesia," tegasnya.

Sebelumnya Komisi Tinggi HAM PBB dan 21 Dubes Uni Eropa menemui Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (6/2). Mereka juga bertemu Panja RUU KUHP dan menyoal perluasan makna pasal perzinaan, pemerkosaan, dan pencabulan.

Para delegasi HAM PBB ini menyinggung mengenai berbagai persoalan HAM di Indonesia, termasuk menyoal perluasan pasal pidana ke pelaku lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) dan perzinahan.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement