REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Beberapa daerah menolak meminjamkan fasilitas umum berupa lapangan sebagai tempat untuk menyelenggarakan Sholat Idul Fitri pada Jumat (21/4/2023). Padahal, menurut hasil hisab wujudul hilal, PP Muhammadiyah memutuskan berhari raya pada 21 April 2023.
Pelarangan penggunaan fasilitas publik untuk pelaksanaan Sholat Idul Fitri yang berbeda dengan pemerintah merupakan ekses dari kebijakan pemerintah tentang awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha.
“Padahal dalam sistem negara Pancasila, pemerintah tidak memiliki kewenangan mengatur wilayah forum internum umat beragama atau dalam Islam disebut sebagai wilayah ibadah mahdhah seperti awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha,” kata Wakil Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah Maneger Nasution.
Dalam konteks konstitusi, negara terutama Pemerintah justru wajib hukumnya menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas kemerdekaan warga negara untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. “Sehubungan akan terjadinya potensi beda Idul Fitri 1444 H, Negara, khususnya pemerintah sejatinya hadir secara adil untuk semua warga negara. Negara tidak boleh diskriminatif,” katanya.
Menurut Maneger, fasilitas publik yang berasal dan dibiayai oleh rakyat seperti lapangan dan fasilitas lainnya adalah wilayah terbuka yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sesuai dengan ketentuan pemakaian, bukan karena perbedaan paham agama dengan pemerintah.
“Kegiatan melaksanakan ibadah Idul Fitri di lapangan terbuka bukan kegiatan politik dan makar kepada pemerintah. Oleh karena itu, Pemerintah pusat, seharusnya tidak membiarkan pemerintah daerah membuat kebijakan yang bertentangan dengan konstitusi dan melanggar kebebasan berkeyakinan. Pemerintah Pusat jangan berlindung dibalik otonomi daerah. Agama bukan bukan wilayah yang diotonomikan,” katanya.
Dalam pandangan Manager, pelarangan atau setidaknya pembiaran pemerintah terhadap tidak terpenuhinya hak paling elementer warga negara misalnya hak atas kebebasan berkeyakinan warga negaranya adalah pelanggaran terhadap Pancasila, konstitusi, UU, dan HAM, sekaligus pengingkaran terhadap sejarah bangsanya sendiri, Indonesia sebagai bangsa multikultur.