REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Muhyiddin dari Asmat, Papua
Bukan rahasia, daerah-daerah di Kabupaten Asmat sukar dijangkau. Demikian juga dengan Kampung Yaosakor, Distrik Siret. Dari Agats, ibu kota Kabupaten Asmat, kampung ini hanya bisa dijangkau dengan perahu cepat melalui Sungai Aswed.
Bersama tim relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT), Republika.co.id menyusuri sungai yang membentang berkelok-kelok dan banyak bercabang itu sejak Rabu (7/2)."Biasanya kalau air lagi surut, buaya-buaya itu ada di pinggir sungai, tidur," ujar Doni, salah satu awak perahu cepat.
Bercabangnya Sungai Aswed membuat awak perahu harus menanyakan arah menuju Yaosakor ke penduduk lokal yang juga menggunakan perahu cepat atau kepada nelayan yang tengah memancing ikan. Setelah empat jam berperahu, Republika.co.id dan tim ACT akhirnya tiba di Kampung Yaosakor. Anak-anak tempatan yang tengah bermain di dermaga ramai melambaikan tangan saat perahu merapat dan akhirnya bersandar di pelabuhan kecil dari kayu.
Tak jauh dari tempat kapal bersandar, tampak sebuah puskesmas yang tak sebegitu besar. Bangunannya dari kayu dan berdiri di semacam panggung. Bentuknya seperti bangunan lain di Asmat yang menyesuaikan dengan kontur tanah yang berawa.
Puskesmas itu termasuk yang paling ramai di Asmat. Ada sebanyak 26 tenaga kesehatan yang terdiri atas perawat, bidan, dan ahli gizi. Namun, tidak ada dokter di Puskesmas Yaosakor. Akibatnya, anak-anak yang menderita penyakit parah harus dirujuk ke rumah sakit yang ada di Distrik Agats, pusat pemerintahan Kabupaten Asmat.
Republika.co.id menemui Devi Dewiana (26 tahun), salah satu perawat di puskesmas itu. Di tengah warga Yaosakor, Devi dan rekan-rekannya tampak ganjil. Dia satu dari sedikit yang berjilbab di Yaosakor. Penduduk Muslim yang tinggal di kampung itu hanya empat perempuan dan dua laki-laki.
"Yang Muslim hanya kami-kami ini saja enam orang," kata Devi. Untuk melaksanakan Shalat Jumat, laki-laki Muslim di kampung itu harus naik kapal ke masjid di kampung tetangga.
Membuka obrolan, Devi mengatakan, banyak tantangan yang dihadapinya saat mengabdi di kampung ini. "Kemarin, pas imunisasi kita panggil masyarakatnya, yang kadang tidak mau. Takut disuntik," ujar Devi kepada Republika.co.id. Perawat asal Makassar, Sulawesi Selatan itu sudah setahun mengabdi di Yao sakor setelah ditugaskan Dinas Kesehatan Papua dari Jayapura.
Meski sempat terkejut dengan penugasannya, Devi saat ini merasa bangga karena bisa menolong anak-anak pedalaman dari ancaman penyakit, seperti malaria dan campak ataupun gizi buruk. Terlebih, sang suami bersedia menemani ke Yaosakor.
Bagaimanapun, belakangan ini, upaya Devi dan rekan- rekannya seolah tenggelam di tengah mencuatnya kejadian luar biasa (KLB) campak dan gizi buruk. Distrik Siret, termasuk salah satu wilayah terdampak bersama sejumlah distrik lainnya, seperti Suator, Kolofbrasa, Fait, Aswit, Pulau Tiga, dan Jetzi.
Tim Dinkes Papua menyatakan, dari lima kampung di Distrik Siret, sebanyak 108 orang terkena campak dalam pemeriksaan Januari lalu. Meski begitu, tak seperti di beberapa distrik lainnya, tak ada yang meninggal di Siret.
Terkait hal itu, menurut Devi, pemahaman warga Yaosakor memang masih kurang soal pentingnya kesehatan. Pendidikannya masih rendah. Kadang kalau kita datang ke sana berlarian ke mana. Tapi kita edukasi, beri pengertian," ucapnya.
Ia mencontohkan, kondisi puskesmas yang tak memiliki dokter kerap memaksa para perawat merujuk warga yang sakit parah ke RSUD Agats. "Nah, kadang pasien tidak mau dirujuk. Kalau tidak mau rujuk, kita kasih tanda tangan penolakan tindakan rujukan," kata Devi.