Selasa 13 Feb 2018 05:05 WIB

RUU MD3 Disahkan, Ini Tanggapan Menkumham

Menkumham mengatakan pertimbangan MKD dalam pemanggilan anggota DPR bukan kewajiban.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Bayu Hermawan
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan pendapatnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/1).
Foto: Republika/Prayogi
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyampaikan pendapatnya dalam rapat kerja dengan Komisi III DPR di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/1).

REPUBLIKA.CO.ID,

Menkumham: Pertimbangan MKD Bukan Kewajiban Dipemanggilan Anggota DPR

JAKARTA -- Rapat paripurna DPR telah mengesahkan Rancangan Undang Undang tentang perubahan kedua atas Undang undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (DPRD) menjadi Undang-undang. Namun dalam pengesahan tersebut, ada dua fraksi yakni Fraksi Partai Nasdem dan Fraksi PPP walk out lantaran tidak menyetujui pengesahan RUU tersebut.

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly yang mewakili Pemerintah menilai sah-sah saja terjadi perbedaan pandangan dari sejumlah pihak. Karenanya ia tidak mempersoalkan aksi walk out itu, sepanjang pengesahan UU telah terpenuhi kuorum.

"Sah-sah saja. Bukan cuma kali ini undang-undang berbeda pendapat kalau nanti pada gilirannya ada yang membenci silakan saja. Itu biasa," ujar Yasonna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Senin (12/2).

Ia mengakui salah satu kekhawatiran di revisi UU MD3 tersebut yakni menghidupkan klausul sebelumnya terkait peran MKD dalam pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR. Dalam pemeriksaan, penegak hukum harus mendapat persetujuan tertulis dari presiden, namun setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Yasonna menegaskan pertimbangan MKD bukanlah keharusan.

"Waktu kemarin ada keputusan MK itu kan dikatakan harus mengenai persetujuan Presiden. Itu saja kalau pun ditambah anak kalimat mempertimbangkan MKD, itu hanya mempertimbangkan, tergantung, tidak ada kewajiban," ujar Yasonna.

Begitu pun soal penambahan kursi pimpinan DPR satu kursi, tiga pimpinan MPR, satu DPD dan wakil ketua MKD yang dianggap membuat pemborosan anggaran negara. Ia mengatakan, penambahan pimpinan bagian dari merespon perkembangan dinamika politik.

"Ini kan cuma sampai 2018-2019 itu hanya merasakan dinamika politik tentang perlunya keadilan representasi pimpinan. Di manapun di dunia ini pemenang Pemilu itu pastilah masuk paling tidak dalam unsur pimpinan," ujarnya.

Sebelum disahkan, Ketua Badan Legislasi DPR Supratman Andi Agtas memaparkan 14 substansi dalam perubahan UU MD3 tersebut. Antara lain penambahan pimpinan MPR, DPR dan DPD serta penambahan wakil pimpinan MKD serta penambahan rumusan mekanisme pimpinan MPR dan DPR dan alat kelengkapan dewan hasil pemilu 2014. Serta ketentuan mengenai mekanisme penetapan pimpinan MPR DPR dan AKD setelah Pemilu 2019.

Tak hanya itu, subsntasi perubahan lainnya yakni perumusan kewenangan DPD dalam memantau dan evaluasi rajangan peraturan daerah (Raperda) dan Perda. "Juga penambahan rumusan kemandirian DPD dalam rumusan anggaran," ungkap Supratman.

Supratman melanjutkan, dalam substansi perubahan UU MD3 Juga mengatur rumusan tentang pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau warga masyarakat secara umum yang melibatkan kepolisian.

"Penguatan hak imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas DPR," ujarnya.

Namun diketahui dua fraksi yakni Partai Nasdem dan PPP melakukan walk out dari rapat paripurna pengesahan RUU MD3. Ketua Fraksi Partai Nasdem Johny G Plate meminta kepada Pemerintah dan fraksi fraksi meminta pengesahan RUU MD3 ditunda tidak pada hari ini. Hal ini karena substansi dalam RUU MD3 dinilai sarat muatan pragmatisme dan kepentingan kelompok.

"Dalam UU ini terbuka peluang akan oligarki kekuasaan DPR RI citra DPR RI akan lebih buruk. Ini harus menjaga citra. Sepakati Pemerintah dan fraksi agar ditunda, jika tidak, kami Fraksi Nasdem akan walk out dari pengesahan ini," ujar Johny.

Hal sama diungkapkan Ketua Fraksi PPP Reni Marlinawati yang menegaskan bahwa revisi UU MD3 yang disahkan hari ini adalah inkonstitusional.  Hal itu terkait dengan rumusan pasal yang mengatur mekanisme pemilihan penambahan pimpinan MPR hasil pemilu 2014 .

"Kami mohon untuk ditunda dan dilakukan pembicaraan lebih lanjut. Pasal 427 huruf a yang bertentangan dengan MK terkait dengan proses penetapan harusnya bermakna dipilih bukan diberikan. Jadi jika permohonan kami. Jika pembicaraan RUU ini tidak dilakukan. kami dari Fraksi PPP tidak dapat menyetujui RUU MD3 ini. kami nyatakan Walk out," ujar Reni.

 

Baca juga: Tak Ada yang Perlu Dikhawatirkan dengan Pengesahan RUU MD3

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement