REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis politik Exposit Strategic Arif Susanto menilai, revisi Undang-undang MPR DPR, DPRD, dan DPD (MD3) adalah upaya DPR RI untuk menjadi lembaga yang super. Salah satunya adalah dengan memasukkan aturan tentang pemanggilan paksa bagi mereka yang menolak memenuhi panggilan untuk hadir dalam rapat DPR RI.
"DPR bahkan mengubah diri menjadi suatu lembaga super. Padahal wilayah politik yang menjadi domain DPR RI tidaklah serupa dengan wilayah penegakan hukum yang memungkinkan suatu upaya paksa demi menghasilkan putusan adil," ujar Arif, disela-sela diskusi dengan tema "Selamat Datang Politik Anti Kritik dan Demokrasi, di D Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (13/2)
Sementara, kata Arif, ancaman pidana dapat dijatuhkan kepada mereka yang berusaha menghalangi penegakan hukum. Bahkan, ancaman serupa berpeluang menjadi kriminalisasi jika diterapkan dalam suatu proses politik. Sehingga demokrasi di Indonesia terancam dan kehidupan bernegara masuk dalam masa kegelapan terdampak kekacauan tatanan.
Lanjut Arif, sejak awal rencana Revisi Undang undang MD3 menunjukkan akal bulus DPR RI bersama pemerintah untuk bagi-bagi kekuasaan. Persekongkolan ini, sambungnya, mengulang akomodasi pemerintah terhadap keinginan lama DPR RI untuk membangun gedung baru dan melipatgandakan dana bantuan Partai Politik (Parpol)
"Dampaknya, DPR semakin sepi dari suara kritis terhadap pemerintah," katanya.
Arif menambahkan, alih-alih memperkuat peran demokratis kelembagaan MPR, DPR, DPRD, dan DPD, justru revisi semakin kehilangan fokus. Itu setelah masuknya pasal-pasal baru yang berpeluang menjauhkan lembaga-lembaga tersebut dari jangkauan hukum dan suara kritis publik
Selain itu UU MD3 juga mencerminkan suatu upaya sistematis DPR RI, dengan mengajak serta pemerintah, untuk menggangsir negara hukum. Ini dilakukan, kata Arif, melalui instrumentalisasi kewenangan legislasi untuk menghasilkan lembaga-lembaga negara yang berada di atas hukum. "Buktinya pemeriksaan anggota DPR harus melalui pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang bukan merupakan bagian dari tatanan hukum pidana nasional," jelasnya.
Selanjutnya, menurut Arif, DPR juga menerapkan suatu politik isolasionisme'. Hal itu dilakukan untuk membungkam kritik dan menutup diri dari segala bentuk pandangan kontra lewat pemberian kewenangan MKD. Yakni untuk memanggil dan memeriksa pihak yang diduga merendahkan kehormatan dewan dan anggotanya.
"Kewenangan ini bahkan dapat diikuti oleh langkah hukum dengan melaporkan pelaku kepada polisi," ucapnya.