REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Lingkaran Madani, Ray Rangkuti, menganggap revisi Undang-undang MPR DPR, DPRD, dan DPD (MD3) sebagai alat untuk menjadikan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) sebagai "tameng" Anggota Dewan. Salah satunya adalah terdapat pada Pasal 122, yang berbunyi, dalam menjalankan tugas sebagaimana dimaksud Pasal 121A, MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR RI.
Menurut Rangkuti, dengan adanya pasal tersebut, jika ada pihak yang merendahkan kehormatan anggota DPR RI, maka MKD bisa bertindak dengan mengambil langkah hukum. Selanjutnya, pihak yang mengkritik dan dianggap merendahkan anggota DPR RI bisa diproses secara hukum dengan dilaporkan ke kepolisian.
"Akibatnya MKD tidak lagi berfungsi menjaga etika dewannya tapi menjaga anggota dewan agar tidak dihina oleh publik. Ini yang membuat kami, rakyat tersentak, kok bisa," keluh Rangkuti, saat menjadi pembicara pada diskusi dengan tema "Selamat Datang Politik Anti Kritik dan Demokrasi," di D Hotel, Jakarta Pusat, Selasa (13/2).
Selain itu Rangkuti juga menangkap ada hal yang aneh dalam pasal tersebut. Kata Rangkuti, pasal tersebut terinspirasi dari pasal penghinaan kepada presiden. Padahal pasal penghinaan kepada presiden sendiri pernah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). "Sejak kapan Anggota DPR RI menjadi simbol negara yang tidak boleh dihina?" tanya Rangkuti dengan heran.
Tidak hanya itu, Rangkuti mengatakan, seharusnya anggota dewan yang merasa dihina atau direndahkan oleh pihak lain melaporkan sendiri, jangan menyeret MKD. Sebab, hal itu tidak memiliki rujukan hukum. Apalagi MKD sendiri mempunyai fungsi utama untuk menjaga etika dewan.
"Tidak usah seret MKD. Kalau anda merasa terhina kok terus pakai MKD. Memang MKD itu simbol negara? Emang kalau dirinya dihina negara yang harus menyelesaikan?," ujar Rangkuti.