REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mendorong masyarakat untuk mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang MD3 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, menurut pakar Hukum Tata Negara Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf, langkah ini justru membuat Presiden seolah-olah 'cuci tangan' terhadap undang-undang yang baru saja diketok DPR itu.
"Dengan 30 hari dilewatkan terus masyarakat ke MK, kesan betul balik kanan, 'cuci tangan', lepas tanggung jawab. Tanda tangan saja, tapi digugat di MK," ujar Asep saat dihubungi Republika, Jumat (23/2).
Asep berpendapat, Presiden tak perlu menghabiskan masa 30 hari, sebab UU MD3 juga praktis akan berlaku. Karena itu, menurut dia, Jokowi sebaiknya menandatangani undang-undang tersebut untuk dapat diajukan uji materi ke MK.
"Kalau presiden itu gausah nunggu 30 hari. Tanda tangan saja, sahkan, masukan ke lembaga negara, sudahd iundangkan, kalau begitu kan sudah mengikat nih baru di MK," tambahnya.
Kendati demikian, ia menilai langkah yang sebaiknya diambil oleh pemerintah yakni merevisi UU MD3 tersebut. Dengan merevisi, maka pasal-pasal yang menjadi kontroversi di masyarakat dapat dikoreksi dan dibahas bersama dengan DPR dan juga para pakar dari berbagai kalangan.
"Tanda tangan tapi menyiapkan kepada Menkumham agar menyiapkan revisi pasal terhadap hal yang dihebohkan oleh publik, DPR pun punya kesempatan untuk berdiskusi dengan pemerintahapa yang harus diputuskan," katanya.
Asep mengatakan, kontroversi UU MD3 ini membuktikan kurang matangnya pengkajian yang dilakukan oleh pemerintah. Sikap Presiden yang disebut-sebut tak akan menandatangani UUMD3 ini pun justru menimbulkan kesan yang buruk terhadap pemerintahan.
"Meskipun saya juga kecewa dengan DPR tapi inikan kurang bagus efeknya pada publik dari presiden seperti itu," ucap Asep.